NAMA : ERIC SUWARDANI
NIM : 08103244029
KELAS : PLB B
UJIAN : PENGEMBANGAN KURIKULUM
1.
Model kurikulum pada pendidikan
inklusi:
-
Model kurikulum regular penuh
-
Model kurikulum regular dengan
modifikasi
-
Model kurikulum PPI
a.
Pengertian
Model kurikulum
reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan
peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama
seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama.
Model kurikulum
reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang
dimodifikasi oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada
program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik
berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus
yang memiliki PPI.
Model kurikulum
PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program
PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru
pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang
terkait. Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education
Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan
inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan
mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap
perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan
lebih. Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang
melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan
dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas
program tersebut akan ditentukan.
(http://fuadinotkamal.wordpress.com/2011/04/12/pendidikan-inklusif/)
b.
Perbedaan
Perbedaan dari ketiganya sudah nampak pada
pengertiannya.
Model kurikulum
regular penuh, Peserta didik yang berkebutuhan
khusus mengikuti kurikulum reguler ,sama seperti teman-teman lainnya di dalam
kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih diarahkan kepada proses
pembimbingan belajar, motivasi dan ketekunan belajar. Model kurikulum regular dengan modifikasi, kurikulum regular
dimodifikasi oleh guru dengan mengacu pada kebutuhan siswa berkebutuhan khusus.
Model kurikulum PPI, kurikulum
disesuaikan dengan kondisi peserta didik yang melibatkan berbagai pihak. Guru mempersiapkan Program Pembelajaran
Individual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembang Kurikulum Sekolah.
Model ini diperuntukan bagi siswa yang tidak memungkinkan mengikuti kurikulum
reguler.
c.
Keunggulan dan kelemahan
Model kurikulum
regular penuh
Keunggulan:
Peserta didik berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan potensi
yang dimilikinya. (Freiberg, 1995)
Kelemahan:
Peserta didik
berkebutuhan khusus harus menyesuaikan diri dengan metode pengajaran dan
kurikulum yang ada. Pada saat-saat tertentu, kondisi ini dapat menyulitkan
mereka. Misalnya, saat siswa diwajibkan mengikuti mata pelajaran ”menggambar.”
Karena memiliki hambatan penglihatan, tentu saja siswa disability tidak bisa
”menggambar.” Tapi, karena mata pelajaran ini wajib dengan kurikulum yang
”ketat”, ”tidak fleksibel,” tidaklah dimungkinkan bagi guru maupun siswa
disability untuk melakukan ”adaptasi atau subsitusi” –untuk mata pelajaran
”menggambar” tersebut.
Model kurikulum regular dengan modifikasi
Keunggulan:
Peserta didik berkebutuhan khusus dapat diberi
pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelemahannya:
Tidak semua guru di sekolah regular paham tentang ABK.
Untuk itu perlu adanya sosialisasi mengenai ABK dan kebutuhannya.
Model kurikulum
PPI
Keunggulan:
Peserta didik mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan.
Kelemahan:
Guru kesulitan dalam menyusun IEP dan sangat membutuhkan
waktu yang banyak.
d.
Kurikulum PPI
BINA
KOMUNIKASI PERSEPSI BUNYI DAN IRAMA
UNTUK
ANAK TUNARUNGU DI KELAS INKLUSI
- Pendahuluan
Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan
Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional bab III
ayat 5 dinyatakan bahwa setiap warganegara mempunyai kesempatan yang sama
memperoleh pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkelainan berhak pula
memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (anak normal) dalam
pendidikan tak terkecuali anak tunarungu.
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi tidaklah
mudah. Sebelum menempatkan anak tunarungu di kelas inklusi, sebaiknya
persyaratan dibawah ini dapat dipenuhi, yaitu:
1.
Anak tunarungu harus memiliki bahasa
yang cukup
2.
Sekolah yang di dalamnya
menyertakan anak berkebutuhan khusus harus memiliki guru pendamping
3.
Guru regular hendaknya memahami
karakteristik anak tunarungu
4.
Guru regular mampu menggunakan
prinsip-prinsip pembelajaran bagi anak tunarungu seperti prinsip
keterarahwajahan, keterarahsuaraan, prinsip intersubyektivitas dan prinsip
kekonkritan.
5.
Lingkungan di sekolah inklusi
harus kondusif dan dapat menerima keberadaan anak berkebutuhan khusus.
6.
Sarana dan prasarana yang
mendukung bagi anak berkebutuhan khusus
Jika persyaratan diatas telah dipenuhi, maka selanjutnya
pembelajaran di kelas inklusi bagi anak tunarungu dapat dilakukan. Pembelajaran
tunarungu yang paling utama dan terutama adalah pembelajaran bahasa. Sekolah
yang di dalamnya terdapat anak tunarungu, hendaknya memiliki ruang BKPBI (Bina komunikasi
persepsi bunyi dan irama) sebagai pendukung dalam membelajarkan
anak tunarungu dalam mengolah bahasanya. Sehingga kemampuan berbahasa anak
tunarungu dapat ditingkatkan dan semakin berkembang.
Guru berlatarbelakang pendidikan luar biasa kajian
tunarungu, sangat diperlukan dalam mengembangkan bahasa anak tunarungu melalui BKPBI dan Bina Wicara.
Untuk itu sekalipun berada di kelas inklusi namun anak tunarungu tetap
mendapatkan latihan (BKPBI dan Bina Wicara) BKPBI dan Bina Wicara
ini sebaiknya diberikan secara rutin dan terus menerus hingga kosa kata anak
bertambah banyak dan pada akhirnya mampu berkomunikasi dengan baik dan benar.
A.
Bina Komunikasi
Persepsi Bunyi dan Irama
Manusia yang
berpendengaran normal memiliki latar belakang bunyi-bunyian yang memberikan
arti yang sangat penting bagi kejiwaan manusia. Dengan adanya latar belakang
bunyi-bunyian ini manusia akan mempunyai kontak terus menerus dengan orang dan
alam sekitar. Keadaan ini membuat manusia merasa aman dan memperkaya
penghayatan terhadap segala sesuatu yang dialaminya.
Anak tunarungu
tidak menghayati adanya bunyi latar belakang seperti anak normal tetapi bukan
berarti mereka tidak bisa menghayati seluruh bunyi yang ada. Kebanyakan anak
tunarungu masih memiliki sisa pendengaran pada daerah nada tinggi atau nada
rendah. Anak tunarungu yang masih mempunyai banyak sisa pendengaran dapat
menghayati bunyi lewat pendengarannya tetapi untuk anak tunarungu yang sisa
pendengarnnya amat kecil mereka akan menghayati bunyi-bunyian lewat perasaan
vibrasinya.
Anak tunarungu
totalpun masih mampu mengamati dan menghayati bunyi atau dibuat sadar akan
adanya bunyi dengan secara sistematis memberi kesempatan kepada anak tunarungu
mengalami pengamatan bunyi, sehingga hal tersebut menjadi bagian dalam
perkembangan jiwa mereka, suatu sikap hidup guna menjadi pribadi yang lebih
utuh dan harmonis sehingga mereka akan tumbuh menjadi manusia yang lebih
normal.
Berkat kemajuan
teknologi derajat kehilangan pendengaran seseorang dapat diukur pada usia yang
sangat dini bahkan kemajuan teknologi sekarang dapat mendeteksi ketunarunguan
saat bayi masih dalam kandungan. Berdasarkan pengukuran ini anak tunarungu
dapat digolongkan menurut sisa pendengaran yang masih ada.
Kemajuan teknologi
juga ditandai dengan ditemukannya alat bantu mendengar (ABM) yang dari tahun
ketahun semakin sempurna bentuknya dan makin sesui dengan kebutuhan anak.
Penemuan ABM ini dapat memaksimalkan fungsi pendengaran anak terutama dengan
latihan yang teratur dan berkesinambungan. Dalam kegiatan pembelajaran latihan
mendengar dimasukkan dalam program khusus untuk anak tunarungu yaitu Bina
komunikasi persepsi bunyi dan irama (BKPBI).
1.
Pengertian BKPBI
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI) ialah pembinaan
dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja,
sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak
tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia
sekelilingnya yang penuh bunyi..
Pembinaan secara
sengaja yang dimaksud adalah bahwa pembinaan itu dilakukan secara terprogram;
tujuan, jenis pembinaan, metode yang digunakan dan alokasi waktunya sudah
ditentukan sebelumnya. Sedangkan pembinaan secara tidak sengaja adalah
pembinaan yang spontan karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang yang
hadir pada situasi pembelajaran di kelas, sepeti bunyi motor, bunyi helikopter
atau halilintar, kemudian guru membahasakannya. Misalnya, “Oh kalian
dengar suara motor ya ? Suaranya ‘brem... brem... brem...’ benar begitu ?”.
Kemudian guru mengajak anak menirukan bunyi helikopter dan kembali meneruskan
pembelajaran yang terhenti karena anak bereaksi terhadap bunyi latar belakang
tadi.
2.
Tujuan BKPBI
Secara singkat tujuan BKPBI
adalah sebagai berikut :
§ Agar anak
tunarungu dapat terhindar dari cara hidup yang semata-mata tergantung pada daya
penglihatan saja, sehingga cara hidupnya lebih mendekati anak normal.
§ Agar kehidupan
emosi anak tunarungu berkembang dengan lebih seimbang.
§ Agar penyesuaian
anak tunarungu menjadi lebih baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
§ Agar motorik anak
tunarungu berkembang lebih sempurna.
§ Agar anak
tunarungu mempunyai kemungkinan untuk mengadakan kontak yang lebih baik sebagai
bekal hidup di masyarakat yang mendengar.
Dalam hal
kemampuan berbicara, BKPBI
dapat membantu agar anak tunarungu dapat membentuk sikap terhadap bicara yang
lebih baik dan cara berbicara yang lebih jelas.
3.
Sarana BKPBI
Pelaksanaan
program BKPBI perlu didukung sarana yang memadai pula agar hasil yang dicapai
dapat maksimal, sarana BKPBI mencakup :
§ Ruang Khusus
untuk kegiatan pembelajaran yang sebaiknya dilengkapi dengan medan pengantar
bunyi (sistem looping).
§ Perlengkapan
terdiri atas perlengkapan nonelektronik dan perlengkapan elektronik.
§ Alat-alat
penunjang yaitu perlengkapan bermain.
§ Tenaga khusus
pelaksana BKPBI
hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memiliki latar belakang
pendidikan guru anak tunarungu, memiliki dasar pengetahuan tentang musik, dan
memiliki kreativitas dalam bidang seni tari dan musik.
4.
Materi BKPBI
Materi pokok yang
telah dituangkan dalam kurikulum BKPBI untuk anak tunarungu antara lain adalah:
a.
bunyi-bunyi latar belakang
b.
sifat bunyi
- ada tidak ada
bunyi
- panjang pendek
bunyi
- keras lembut
- cepat lambat
- tinggi rendah
c.
sumber bunyi
d.
bunyi yang dapat dihitung
e.
arah bunyi
f.
macam-macam gerak dasar
g.
macam-macam gerak berirama
h.
lambang-lambang sifat bunyi
i.
lambing-lambnag titik nada dalam notasi musik
j.
tanda-tanda notasi musik
k.
pengenalan macm-macam alt musik
l.
cara memainkan macam-macam alat musik
m.
notasi musik
n.
persepsi bunyi bahasa
5.
Evaluasi BKPBI
Dalam menilai
keberhasilan BKPBI hendaknya jangan tergesa-gesa. Biarkan kesadraan anak
berkembang sedikit demi sedikit, pengalaman dan penghayatan bunyi yang ditemukan sendiri akan menumbuhkan
kesadaran yang mendasari keterampilannya memanfaatkan sisa pendengarannya
secara aktif.
Tidak mudah untuk
menentukan seberapa jauh latihan-latihan BKPBI telah mencapai sasarannya. Dr.
A. Van Uden mengatakan kalau seorang anak tunarungu merasa senang menggunakan
ABM nya secara terus menerus dan tanpa
ada orang yang menyuruh, hal ini berarti bahwa BKPBI telah mencapai sasarannya
atau anak itu telah menikmati dunia bunyi, tanpa ABMnya ia akan merasa
kehilangan kebersamaannya dengan dunia sekelilingnya. Keberhasilan BKPBI untuk
setiap anak bergantung pada factor berikut:
§ derajat sisa
pendengaran anak
§ intelegensi anak
§ metode dan
pendekatan
§ kualifikasi guru
latihan BKPBI
§
Aspek yang dapat dievaluasi dalam kegiatan BKPBI adalah:
No.
|
Aspek yang dievaluasi
|
Penilaian
|
1.
|
Minat
|
|
2.
|
Persepsi bunyi dan irama
|
|
3.
|
Persepsi bunyi bahasa
|
B.
Penutup
Pembelajaran anak tunarungu di kelas inklusi yang
dipaparkan diatas adalah salah satu contoh bentuk pembelajaran yang memasukan
anak tunarungu di kelas regular untuk bersama-sama belajar dengan anak
mendengar lainnya namun dalam waktu tertentu anak tunarungu tersebut diberikan
latihan-latihan yang mampu membantu anak untuk memperoleh bahasa dan mengolah
bahasa yang sudah dimilkinya lalu ditunjang dengan latihan BKPBI dan Bina Wicara.
Memasukan anak tunarungu ke dalam kelas inklusi tanpa
memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan anak tersebut hanyalah sia-sia
dan menambah penderitaan anak tunarungu saja. Untuk itu agar tidak menjadi
penderitaan anak tunarungu sebaiknya sekolah harus benar-benar memberikan semua
kebutuhan anak tunarungu dalam proses pembelajarannya melalui kegiatan-kegiatan
pembelajaran bahasa dengan didukung BKPBI dan Bina Wicara. Dengan demikian pembelajaran anak
tunarungu yang dilakukan di kelas inklusi dapat bermakna, sehingga anak
tunarungu keberadaanya di sekolah inklusi bukan hanya sekedar diterima namun
juga terlayani secara kebutuhannya yang terkait dengan kemampuannya untuk
berbahasa dan berkomunikasi tanpa harus mendiskriminasikannya.
2.
Pendidikan khusus sebagai
disiplin ilmu yaitu:
Fungsi preventif adalah upaya pencegahan
agar tidak muncul hambatan belajar dan hambatan perkembangan akibat dari
kebutuhan khusus tertentu.
Hambatan belajar pada anak
dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu:
a.
Akibat faktor lingkungan.
Seorang anak dapat mengalami hambatan belajar karena
bisa disebabkan oleh kurikulum yang terlalu padat, kesalahan guru dalam
mengajar, anak yang terpaksa harus bekerja mencari nafkah, trauma karena bencana
alam/perang, anak yang diperlakukan kasar di rumah dsb. Fungsi preventif
pendidikan kebutuhan khusus adalah mencegah agar faktor-faktor lingkungan tidak
menyebabkan munculnya hambatan belajar.
b.
Akibat faktor dari dalam
diri anak itu sendiri.
Misalnya seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan
atau kehilangan fungsi pendengaran yang dibawa sejak lahir, kondisi seperti itu
dipandang sebagai hambatan belajar yang berasal dari dalam diri anak itu
sendiri. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam hubungannya dengan
kondisi seperti ini adalah mencegah agar kehilangan fungsi penglihatan atau
pendengaran itu tidak berdampak buruk dan lebih luas kepada aspek-aspek perkembangan
dan kepribadian anak.
c.
Interaksi antara faktor
lingkungan dan faktor dari dalam diri anak. Misalnya seorang anak yang
kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan anak ini hidup dalam
lingkungan keluarga yang tidak memberikan kasih sayang yang cukup, sehingga
anak ini mengalami hambatan belajar yang disebabkan oleh faktor dirinya sendiri
(kehilangan fungsi pendengaran) dan akibat faktor eksternal lingkungan. Fungsi
preventif pendidikan kebutuhan khusus dalam konteks seperti ini adalah
melokalisir dampak dari kehilangan fungsi pendengaran dan secara bersamaan
menciptakan lingkungnan yang dapat memenuhi kebutuhan anak akan kasih sayang
yang mungkin tidak diperoleh di lingkungan keluarganya.
Fungsi intervensi diartikan sebagai
upaya menangani hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang sudah terjadi
pada diri anak. Misalnya seorang anak mengalami gangguan dalam perkembangan
kecerdasan/kognitif sehingga ia mengalami kesulitan dalam belajar secara
akademik. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus adalah upaya menangani
anak agar dapat mencapai perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang
dimilikinya. Contoh lain, seorang anak yang mengalami gangguan dalam
perkembangan motorik (misalnya: cerebral palsy). Akibat dari gangguan motorik
ini anak dapat mengalami kesulitan dalam bergerak dan mobilitas, sehingga
akitivitasnya sangat terbatas. Fungsi intervensi pendidikan kebutuhan khusus
dalam konteks ini adalah menciptakan lingkungan yang memungkin anak dapat
belajar secara efektif, sehingga dapat mencapai perkembangan optimum sejalan
dengan potensi yang dimilikinya. Dengan kata lain fungsi intervensi tidak
dimaksudkan supaya anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran agar dapat
mendengar, tetapi dalam keadaan tidak dapat mendengar mereka tetap dapat
belajar, bekerja dan hidup secara wajar bersama dengan orang lain dalam
lingkungannya. Inilah yang disebut dengan coping, artinya anak dapat berkembang
optimum dengan kondisi yang dimilikinya.
Fungsi kompensatoris dalam kontek
pendididikan kebutuhan khusus diartikan sebagai upaya pendidikan untuk
menggantikan fungsi yang hilang atau mengalami hambatan dengan fungsi yang
lain. Seorang anak yang kehilangan fungsi penglihatan akan sangat kesulitan
untuk belajar atau bekerja jika berhubungan dengan penggunaan fungsi
penglihatan. Oleh karena itu kehilangan fungsi penglihatan dapat
dialihkan/dikompensasikan kepada fungsi lain misalnya perabaan dan pendengaran.
Salah satu bentuk kompensasi pada orang yang kehilangan penglihatan adalah
pengunaan tulisan braille. Seorang tunanetra akan dapat membaca dan menulis
dengan menggunakan fungsi perabaan. Seorang yang kehilangan fungsi pendengaran
akan mengalami kesulitan dalam perkembangan keteramilan berbahasa, dan oleh
sebab itu akan terjadi hambatan dalam interaksi dan komunikasi. Bentuk
kompensasi dari adanya hambatan dalam interaksi dan komunikasi pada orang yang
kehilangan fungsi pendengaran adalah pengunaan bahasa isyarat. Dalam
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat fungsi penglihatan sangat
berperan sebagai kompensasi dari fungsi pendengaran. Contoh lain jika di
sekolah ada seorang anak yang mengalami hambatan dalam penggunaan fungsi
motorik, ia akan sangat mengalami kesulitan dalam hal menulis. Ketika misalnya
anak tersebut akan mengikuti ujian maka dapat dilakukan tindakan kompensasi
dengan tidak mengikuti ujian secara tertulis melainkan dengan ujian lisan.
Dalam hal aktivitas belajar, anak itu tidak dituntut untuk mencatat apa yang
mereka pelajari tetapi dapat menggunakan cara lain misalnya menggunakan tape
recorder atau apa yang akan dijelaskan oleh guru diberikan dalam bentuk teks.
Melalui upaya kompensasi, anak akan tetap dapat mengikuti akitivtas belajar
seperti yang dilakukan oleh anak lainya dengan cara-cara yang dimodifikasi dan
diseuiakan dengan mengganti fungsi yang hilang/ tidak berkembang dengan fungsi
lainnya yang masih utuh. (http://z-alimin.blogspot.com/2010/04/reorientasi-pendidikan-khususplb.html)
Fungsi perbaikan dan pengembangan dalam
kontek pendidikan luar biasa merupakan upaya pendidikan untuk memperbaiki
kondisi peserta didik berkebutuhan khusus supaya tidak semakin parah. Dalam
pendidikan luar biasa masuk ke dalam program Terapi dan Okupasi. Salah satu
programnya yaitu rehabilitasi. Tujuan dari program ini yaitu untuk membantu
individu dengan kelainan dan atau gangguan fieik, mental maupun social, dengan
penekanan pada aspek sensomotorik dan proses neurologis. Hal itu dicapai dengan
cara memanipulasi, memfasilitasi, dan menginhibisi lingkungan, sehingga
individu mampu mencapai peningkatan, perbaikan, dan pemeliharaan kualitas
hidupnya.
Dengan demikian diharapkan
anak dapat mencapai kemandirian dalam aktifitas produktifitas (sekolah/
akademik), kemampuan perawatan diri (self care), dan kemampuan penggunaan waktu
luang (leisure) serta bermain sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara
optimal.
3.
a. Yang
dimaksud dengan kerangka acuan operasional penyusunan kurikulum adalah kerangka
sudut pandang dalam menyusun kurikulum.
Hal-hal
yang menjadi kerangka acuan dalam pembuatan kurikulum KTSP yaitu:
1.
Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
Keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta
didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran
dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
2.
Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kemampuan peserta didik
Pendidikan merupakan proses sistematik
untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik yang memungkinkan potensi
diri (afektif, kognitif, psikomotor) berkembang secara optimal. Sejalan dengan
itu, kurikulum disusun dengan
memperhatikan potensi, tingkat perkembangan, minat, kecerdasan intelektual,
emosional dan sosial, spritual, dan kinestetik peserta didik.
3.
Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
Daerah memiliki potensi, kebutuhan,
tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah
memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup
sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk
menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah.
4.
Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
Dalam era otonomi dan desentralisasi
untuk mewujudkan pendidikan yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan
keragaman dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan
wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus ditampung secara berimbang dan
saling mengisi.
5.
Tuntutan
dunia kerja
Kegiatan pembelajaran harus dapat
mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan
dan mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu memuat kecakapan
hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja. Hal ini sangat
penting terutama bagi satuan pendidikan kejuruan dan peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang
yang lebih tinggi.
6.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Pendidikan perlu mengantisipasi dampak
global yang membawa masyarakat berbasis pengetahuan di mana IPTEKS sangat
berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus menerus
melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan IPTEKS sehingga tetap relevan
dan kontekstual dengan perubahan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan
secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
7.
Agama
Kurikulum harus dikembangkan untuk
mendukung peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dengan tetap memelihara
toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, muatan kurikulum semua
mata pelajaran harus ikut mendukung peningkatan iman, taqwa dan akhlak mulia.
8.
Dinamika perkembangan global
Pendidikan harus menciptakan
kemandirian, baik pada individu maupun bangsa, yang sangat penting ketika dunia
digerakkan oleh pasar bebas. Pergaulan antarbangsa yang semakin dekat
memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta mempunyai kemampuan
untuk hidup berdampingan dengan suku dan bangsa lain.
9.
Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pendidikan diarahkan untuk membangun
karakter dan wawasan kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting
bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Oleh
karena itu, kurikulum harus mendorong berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan
serta persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI.
10.
Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
Kurikulum harus dikembangkan dengan
memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang
kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat
harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan
bangsa lain.
11.
Kesetaraan Jender
Kurikulum harus diarahkan kepada
terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan jender.
12.
Karakteristik satuan pendidikan
Kurikulum harus dikembangkan sesuai
dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.
b. Dasar
filosofis penyusunan kurikulum berbasis KTSP
Filsafat
memegang peranan penting dalam pengembangan kurikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat
Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti :
perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan
rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada
aliran-aliran
filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi
kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati
(2003), diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat,
kaitannya dengan pengembangan kurikulum yaitu:
a.
Perenialisme lebih menekankan
pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan
dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang
memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan
pada kebenaran absolut, kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan
waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b.
Essensialisme menekankan
pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada
peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika,
sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi
kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan
perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c.
Eksistensialisme menekankan
pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk
memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini
mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
d.
Progresivisme menekankan pada
pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi
pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi
pengembangan belajar peserta didik aktif.
e.
Rekonstruktivisme merupakan
elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban
manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan
individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan
tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan
mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan
sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses.
Aliran Filsafat
Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang
mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis.
Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model
Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak
diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan
keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum,
penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih
mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan
pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia,
tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu
dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme.
C.
Alasan mengapa pada waktu
menyusun kurikulum berbasis KTSP perlu mempertimbangkan keunggulan lokal yaitu kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah
untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kepentingan
nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan
dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4.
Struktur dan muatan
kurikulum KTSP yaitu:
1.
Mata pelajaran
Berisi Struktur
Kurikulum dan satuan pendidikan yang disusun berdasarkan kebutuhan siswa dan
sekolah terkait dengan upaya pencapaian
SKL.
2.
Muatan lokal
Berisi tentang:
jenis, stategi pemilihan dan pelaksanaan mulok yang diselenggarakan oleh
sekolah. Dalam pengembangannya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
o Muatan lokal merupakan kegiatan kurikulum yang bertujuan untuk
mengembangkan kompetensi sesuai dengan cirri khas dan potensi daerah termasuk
keunggulan daerah.
o Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan.
o Substansi yang akan dikembangkan, materinya tidak sesuai menjadi
bagian dari maple lain, atau terlalu luas substansinya sehingga harus
dikembangkan menjadi maple tersendiri.
o Merupakan mata pelajaran wajib yang tercantum dalam struktur
kurikulum.
o Bentuk penilaiannya kuantitatif (angka)
o Setiap sekolah dapat melaksanakan mulok lebih dari satu jenis dalam
setiap semester, mengacu pada minat dan atau karakteristik program studi yang
diselenggarakan di sekolah.
o Siswa boleh mengikuti lebih dari satu jenis mulok pada setiap tahun
pelajaran sesuai dengan minat dan program mulok yang diselenggarakan sekolah.
o Substansinya dapat berupa program keterampilan produk/ jasa, contohnya:
Bidang budidaya:
tanaman hias, tanaman obat, dll.
Bidang
pengolahan: pembuatan abon ikan, kerupuk, dll.
Bidang TIK dan
lain-lain: web design, kewirausahaan, dll.
o Sekolah harus menyusun SK, KD dan silabus untuk mata pelajaran mulok
diselenggarakan oleh sekolah.
o Pembelajaran dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran atau hanya
ahli dari luar sekolah yang relevan dengan substansi mulok.
3.
Kegiatan pengembangan diri
Bertujuan
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan
diri sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, bakat, minat, peserta didik dan
kondisi sekolah.
Dapat
dilaksanakan dalam bentuk kegiatan bimbingan konseling atau ekstrakurikuler.
Bukan
matapelajaran dan tidak perlu dibuatkan SK, KD dan silabus.
Dilaksanakan
secara terprogram, rutin dan spontan dan keteladanan.
Penilaian
dilakukan secara kualitatif yang difokuskan pada “perubahan sikap dan
perkembangan perilaku peserta didik”.
Kegiatan
pengembangan diri difasilitasi dan atau pembimbing oleh guru kelas atau mata
pelajaran, konselor atau guru BK atau yg lain.
Penjabaran
alokasi waktu ekuivalen dengan 2 jam pelajaran perminggu diserahkan kepada
masing-masing pembimbing sekolah.
4.
Pengaturan beban belajar
Berisi tentang
jumlah belajar per mata pelajaran. Sekolah dapat mengatur alokasi waktu untuk
setiap mata pelajaran. Pemanfaatan waktu alokasi waktu tersebut
mempertimbangkan potensi dan kebutuhan siswa dalam mencapai kompetensi.
5.
Ketuntasan belajar
Berisi tentang
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) per mata pelajaran yang ditetapkan oleh
sekolah.
6.
Kenaikan kelas, dan kelulusan
Berisi tentang
criteria dan mekanisme kenaikan kelas dan kelulusan, serta strategi
penangananan siswa yang tidak naik atau tidak lulus yang diberlakukan oleh
sekolah.
7.
Penjurusan
berisi tentang
jurusan yang ada di sekolah.
8.
Pendidikan kecakapan hidup
Bukan mata
pelajaran tetapi substansinya merupakan bagian integral dari semua mata
pelajaran.
9.
Pendidikan berbasis keunggulan
lokal dan global
Dapat merupakan
bagian dari semua mata pelajaran yang terintegrasi atau menjadi mulok.
Dapat diperoleh
peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan atau satuan pendidikan
nonformal.
10.
Program khusus (kompensatoris)
Berisi program
khusus untuk peserta didik yang berkebutuhan khusus seperti rientasi dan
Mobilitas, Bina Komunikasi, Persepsi Bunyi & Irama, Kemampuan Merawat Diri.
(Disesuaikan dengan jenis kelainannya.)
Muatan kurikulum
yang diuraikan di atas mencakup:
a.
Kurikulum kompensatoris: untuk
peserta didik yang berkebutuhan khusus
b.
Kurikulum akademik di atas standar
nasional: kurikulum yang sudah distandarkan menurut standar nasional.
c.
Kurikulum akademik standar
nasional: sudah distandarkan secara nasional.
d.
Kurikulum akademik di bawah
standar nasional: sudah distandarkan menurut standar nasional.
e.
Kurikulum life skill: memuat
tentang kurikulum yang berorientasi dengan kecakapan hidup.
f.
Kurikulum vokasional: kurikulum yang
berorientasi dengan keterampilan vokasional (kompetensi untuk bekerja)
5.
a.
KTSP menekankan pada
ketercapaian kompetensi siswa
Pendidikan mengacu
pada upaya penyiapan individu yang mampu melakukan perangkat kompetensi yang
telah ditentukan. Kompetensi
menjelaskan pengalaman belajar yang dilalui siswa untuk menjadi kompeten.
b. KTSP berorientasi pada hasil belajar
Kompeten
merupakan hasil belajar (learning outcomes) yang menjelaskan hal-hal
yang dilakukan siswa setelah melalui proses pembelajaran.
c. Penyampaian dalam
belajar menggunakan pendekatan dan metode bervariasi
metode yang
digunakan tidak hanya satu model tetapi lebih. Hal ini untuk membuat
pembelajaran lebih menyenangkan.
d. Sumber belajar bukan hanya guru,
tetapi sumber lainnya
Apapun dapat menjadi sumber. Dan posisi guru hanya sebagai
fasilitator, motivator siswa. Sifat pembelajaran ini yaitu progress dan
menuntut siswa yang harus aktif.
e. Penilaian menekankan pada proses
Kehandalan
kemampuan siswa melakukan sesuatu harus didefinisikan secara jelas dan luas
dalam suatu standar yang dapat dicapai melalui kinerja yang dapat diukur. Hasil akhir tak hanya berbentuk nilai tetapi proses mencapai
kompetensi tersebut. Karena semua yang dilakukan merupakan hasil belajar yang
perlu diberi penilaian.