KOMPONEN PENDIDIKAN ANAK TUNANETRA
DI SD SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA
MAKALAH
Disusun guna memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah
Pendidikan Anak Tunanetra Semester 3
Dosen pengampu: Dra. Sari Rudiyati, M.Pd.
Disusun oleh:
NAMA : ERIC
SUWARDANI
NIM
: 08103244029
PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2009
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan setiap manusia dalam
kehidupan, sebagai usaha sadar manusia untuk mengembangkan potensi dirinya
melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh
masyarakat. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1)
menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat
(3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
Pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang.
Oleh karena itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa
yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Penyandang tunanetra merupakan individu yang memiliki hak
yang sama seperti individu normal di dalam pendidikan. Hak mereka tertuang
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 1997 tentang penyandang
cacat pasal 11 yang berbunyi setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan untuk
mendapat pendidikan pada satuan, jalur, dan jenjang pendidikan sesuai jenis dan
derajat kecacatan, sedangkan pasal 12 menekankan bahwa setiap lembaga
pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang
cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis dan pendidikan sesuai
dengan jenis dan derajat kecacatannya serta kemampuannya. Dengan demikian hak
para penyandang cacat termasuk para penyandang tunarungu memperoleh kesempatan
yang sama dalam pendidikan dan hal tersebut dijamin oleh undang-undang.
Pentingnya pemberian pendidikan khusus bagi anak yang
mengalami hambatan penglihatan di Indonesia masih sangat kurang usaha dan
antusiasnya. Hal ini terlihat pada kesadaran sebagian besar para orangtua yang
belum memberikan pendidikan yang baik kepada anaknya yang mengalami hambatan
dalam penlihatan. Pentingnya pendidikan dini di keluarga berdampak pada kondisi
anak saat masuk ke lingkungan sekolah. Apabila orangtua sejak dini sudah
memberikan pendidikan, kondisi anak ketika masuk sekolah tidak begitu buruk.
Namun bagi orangtua yang belum memberikan pendidikan bagi anaknya hal ini bisa
dilihat dari kondisi anak saat memasuki bangku sekolah yang mengalami kesulitan.
Anak dalam keadaan tidak tahu tentang dirinya yaitu bahwa dirinya mengalami
hambatan dalam penglihatan.
Selain permasalahan kurangnya kesadaran orangtua terhadap
pendidikan anaknya yang mengalami hambatan penglihatan, banyak anak-anak
tunanetra yang dibiarkan begitu saja sampai usia tua baru akan dimasukkan ke
bangku sekolah. Lebih parahnya lagi seorang anak tunanetra yang dibiarkan
begitu saja tanpa diberi pendidikan di keluarga dan tidak dimasukkan ke bangku
sekolah. Sungguh ironis memang. Namun inilah kenyataan orangtua di negara
Indonesia yang belum memahami arti pentingnya pendidikan dengan segala
keterbatasan yang ada pada diri anak.
Kurangnya sikap menerima dan ikhlas dari orangtua juga
ikut mewarnai pendidikan bagi anak tunanetra. Sikap tidak mau menerima dengan
kenyataan yang ada membuat kondisi anak semakin menarik diri. Ini jelas
mengganggu perkembangan psikologisnya. Anak yang memiliki sejuta potensi
terancam tidak bisa dikembangkan dengan maksimal.
Untuk itu mulailah menumbuhkan kesadaran bahwa anak
tunanetra juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, memiliki
kebutuhan untuk bisa diterima di dalam masyarakat dengan keterbatasan yang ada serta
perlunya dukungan secara moril untuk perkembangan mental anak tunanetra supaya
memiliki kepercayaan diri terhadap potensi yang dimilikinya. Perlu juga
mengubah paradigma lama tentang anak tunanetra bahwa anak tunanetra tidak mampu
untuk hidup mandiri. Yang terpenting adalah sikap orangtua untuk menerima
dengan ikhlas kondisi keterbatasan pada anak.
Penyusun mengambil contoh komponen pendidikan di SLB A
Yaketunis Yogyakarta. SLB ini khusus menangani anak-anak dengan gangguan
penglihatan. Ini tentunya memiliki cara yang berbeda dalam hal pelayanan
pendidikan karena hanya menangani anak dengan gangguan pendengaran di banding
dengan SLB yang menangani beberapa gangguan. Semua komponen pendidikan terfokus
atau dispesifikasikan untuk menangani anak tunanetra dari tingkat dasar sampai
tingkat lanjutan.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Proses
pembelajaran pada tiap satuan pendidikan tidak pernah dapat disamakan
sebagaimana dituangkan dalam kurikulum konvensional yang telah banyak direvisi
melalui Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan. Dalam pada itu, pelayanan pada
tingkat satuan pendidikan khususnya Anak Berkebutuhan khusus tidak sama.
Beberapa
kajian permasalahan yang penyusun ajukan melalui observasi komponen pendidikan
terhadap anak berkebutuhan khusus yang penyusun laksanakan di SLB A Yaketunis yaitu
sebagai berikut:
1.
Bagaimana komponen
pendidikan anak tunanetra di SDSLB A Yaketunis?
2.
Kendala yang dihadapi
dalam pemenuhan komponen pendidikan di SDSLB A Yaketunis?
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1
PENGERTIAN ANAK
TUNANETRA
Kata
tunanetra itu sendiri tidak asing bagi kebanyakan orang, tetapi masih banyak
yang belum memahaminya. Pengertian anak tuanetra itu sendiri banyak ragamnya,
sebab dapat ditinjau dari segi harfiah, kiasan, metafisika, medis, fungsional
ataupun dari segi pendidikan. Dipandang dari segi bahasa, kata tunanetra
terdiri dari kata tuna dan netra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Depdikbud, 1990: 971) tuna mempunyai arti rusak, luka, kurang, tidak memiliki,
sedangkan netra (Depdikbud, 1990: 613) artinya mata. Tunanetra artinya rusak
matanya atau tidak memiliki mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya.
Menurut White Confrence pengertian tunanetra adalah sebagai berikut:
1.
Seseorang dikatakan
buta baik total maupun sebagian (low vision) dari kedua matanya sehingga tidak
memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kacamata.
2.
Seseorang
dikatakan buta untuk pendidikan bila mempunyai
ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata yang terbaik setelah
mendapat perbaikan yang diperlukan atau mempunyai ketajaman penglihatan lebih
dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan dalam lantang pandangnya sehingga
luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak lebih dari 20 derajat.
Menurut
pendidikan kebutaan (blindness) difokuskan pada kemampuan siswa dalam
menggunakan penglihatan sebagai suatu saluran belajar. Anak yang tidak dapat
menggunakan penglihatannya dan bergantung pada indera lain seperti pendengaran,
perabaan, inilah yang disebut buta secara pendidikan (Hardman, et.al. 1990:
313).
2.2
PENDIDIKAN BAGI
ANAK TUNANETRA
Tujuan
pendidikan bagi anak tunanetra secara menyeluruh maupun untuk tunanetra adalah
sama. Tujuannya adalah membantu anak tunanetra dalam mewujudkan tujuan pendidikan
nasional. Tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan kualitas manusia
Indonesia yang beriman, bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras,
tangguh, bertangggung jawab, mandiri, cerdas, dan terampil serta sehat jasmani
dan rohani.
Tujuan khusus pendidikan bagi anak
tunanetra adalah:
1.
Agar anak tunanetra
memahami ketunaannya dan dapat menerima keadaannya.
2.
Agar anak tunanetra menyadari bahwa mereka
merupakan anggota masyarakat, warga negara dengan hak dan kewajiban yang sama
dengan warga negara lain.
3.
Agar anak tunanetra
mampu berusaha dan berjuang untuk keperluannya sendiri.
4.
Agar tunanetra
mempunyai keterampilan dan pengetahuan sesuai dengan kemampuannya, sehingga
dapat mencari nafkah.
5.
Agar tunanetra
dapat bergaul dengan masyarakat, tanpa harus merasa rendah diri dan canggung.
2.2.1
LANDASAN PENDIDIKAN
BAGI ANAK TUNANETRA
Mengetahui
landasan penyelenggaraan pendidikan luar biasa secara umum ataupun khusus bagi
yang tunanetra sangat penting. Karena dapat mengetahui sejarah perkembangan dan
kemajuan penyelenggaraan pendidikan luar biasa.
Landasan tersebut yaitu sebagai
berikut:
1.
Landasan pendidikan
tunanetra berdasarkan historis atau sejarah.
Pada
jaman kuno atau primitif, manusia masih mengandalkan kekuatan fisik untuk
mencari nafkah. Kekuatan fisik dalam mencari nafkah atau makan dengan jalan
berburu. Dengan demikian anak tunanetra tidak dapat berburu. Maka kehidupannya
akan tergantung pada orang lain. Pada abad sebelum pertengahan 18, jika bayi
lahir dalam keadaan tunanetra total, segera dibunuh. Jika mengalami tunanetra
sudah dewasa, maka ia akan disingkirkan atau diperalat untuk mencari uang.
2.
Landasan pendidikan
tunanetra berdasarkan psikologis atau ilmu jiwa.
Ilmu
jiwa berpendapat pendidikan yang baik akan menambah harga diri dan percaya diri
tunanetra. Seyogyanya pendidikan yang baik bila dikaitkan dengan kodrat
manusia. Manusia mempunyai kodrat yang tidak dapat dihindari, yaitu:
-
Manusia itu lemah
-
Manusia tidak ada
yang sempurna
-
Manusia sebagai
makhluk sosial
-
Manusia selalu
ingin berkembang
-
Tidak ada manusia
yang sama
Manusia
dengan kodratnya membutuhkan kehadiran orang lain. Orang atau anak yang
menyandang kecacatan juga membutuhkan kehadiran orang lain. Kehadiran orang
lain tentunya dengan bekal pengetahuan tentang anak cacat yang memadai. Selain
pengetahuan yang memadai, juga sikap yang tepat dalam menghadapi mereka. Sikap
tersebut berupa ketelatenan, kesabaran, keuletan, kemampuan mencipta
(kreativitas), dan keaktifan dalam mencipta.
3.
Landasan pendidikan
tunanetra berdasarkan sosiologis atau perkembangan masyarakat.
Perkembangan
masyarakat akan membawa dampak pada perkembangan pendidikan luar biasa. Dampak
tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak positif berarti
pendidikan luar biasa dapat berkembang menuju suatu kemajuan. Dampak negatif
berarti pendidikan luar biasa tidak dapat maju. Ketidakmajuan tersebut dapat
macet (hidup tidak, matipun tidak) ataupun bubar.
4.
Landasan pendidikan
tunanetra berdasarkan yuridis formal atau hukum.
Dasar hukum pendidikan
tunanetra:
1.
Undang-Undang Dasar
1945
2.
Undang-Undang Pokok
Pendidikan No. 04 junto No. 12 tahun 1954
3.
Undang-Undang Pokok
Pendidikan No. 02 tahun 1989.
4.
Garis-Garis Besar
Haluan Negara.
5.
Pidato Presiden
Soeharto.
2.3
2.3 KOMPONEN PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNANETRA
Dalam
pendidikan anak tunanetra terdapat komponen-komponen yang saling mendukung
yaitu sebagai berikut:
1.
Peserta didik
2.
Pendidik
3.
Isi pendidikan
4.
Strategi pendidikan
5.
Sarana dan
prasarana
6.
Sistem evaluasi
2.2.1
PESERTA DIDIK
Peserta
didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri
melalui proses pendidikan. Sosok peserta didik umumnya merupakan sosok anak
yang membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa tumbuh dan berkembang ke arah
kedewasaan. Ia adalah sosok yang selalu mengalami perkembangan sejak lahir
sampai meninggal dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara wajar (Sutari
Imam Barnadib, 1995). Istilah peserta didik pada pendidikan formal/sekolah
jenjang dasar dan menengah, dikenal dengan nama anak didik atau siswa; pada
pendidikan pondok pesantren disebut santri, dan pada pendidikan tertentu
seperti kelompok belajar paket C atau lembaga kursus, peserta didik disebut
peserta ajar yang terkadang terdiri dari para orang tua.
Menurut
Sutari Imam Barnadib (1995) peserta didik sangat tergantung dan membutuhkan
bantuan dari orang lain yang memiliki kewibawaan dan kedewasaan. Sebagai anak,
dan serba kekurangan dibanding orang dewasa; namun dalam dirinya terdapat
potensi bakat-bakat dan disposisi luar biasa yang memungkinkan tumbuh dan
berkembang melalui pendidikan.
Ciri
khas peserta didik sebagaimana dijelaskan oleh Umar tirtarahardja dan La Sulo
(1994) adalah bahwa peserta didik merupakan:
a.
Individu yang
memiliki potensi fisik dan psikis yang khas
b.
Individu yang
sedang berkembang
c.
Individu yang
membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi
d.
Individu yang
memiliki kemampuan untuk mandiri
Peserta didik pada pendidikan tunanetra yaitu
peserta didik yang mengalami hambatan dalam penglihatan sehingga membutuhkan
bantuan pendidikan khusus dalam proses belajarnya untuk mengembangkan potensi
yang dimilikinya.
2.2.2
PENDIDIK
Kajian
tentang pendidik mencakup beberapa hal pokok antara lain pengertian dan sebutan
pendidik, kompetensi pendidik, kedudukan pendidik, hakekat tugas dan tanggung
jawab guru, profesionalisme guru, organisasi profesi dan kode etik guru.
-
Pengertian pendidik
Pendidik
adalah setiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai
tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. (Sutari Imam Barnadib, 1994). Pendapat
ahli lain mengatakan bahwa pendidik adalah orang yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik (Umar
tirtarahardja dan La Sulo, 1994). Pendidik adalah orang yang dengan sengaja
membantu orang lain untuk mencapai kedewasaan (Langeveld).
Penyebutan
nama pendidik di beberapa tempat memiliki sebutan yang berbeda. Pendidik di
lingkungan keluarga adalah orang tua dari anak-anak yang biasanya menyebut
dengan sebuan ayah-ibu atau papa-mama. Pada lingkungan pesantren biasanya
disebut dengan ustadz, kyai, romo kyai. Pada lingkungan pendidikan di
masyarakat penyebutan pendidik dengan istilah tutor, fasilitator, atau
instruktur. Pada lingkungan sekolah disebut dengan guru. Guru adalah pendidik
yang berada di lingkungan sekolah. Undang-Undang nomor 14 Tahun 2005 Tentang
guru dan dosen menyebut guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
-
Kompetensi sebagai
persyaratan pendidik
Seseorang yang menginginkan menjadi pendidik
maka ia dipersyaratkan mempunyai kriteria yang diinginkan oleh dunia
pendidikan. Tidak semua orang bisa menjadi pendidik kalau yang bersangkutan
tidak bisa menunjukkan bukti dengan kriteria yang ditetapkan. Dalam hal ini
oleh Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo (1995) syarat seorang
pendidik adalah:
1.
Mempunyai perasaan
terpanggil sebagai tugas suci
2.
Mencintai dan
mengasihi peserta didik.
3.
Mempunyai rasa
tanggung jawab yang didasari penuh akan tugasnya.
Ketiga persyaratan tersebut merupakan kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Orang yang merasa terpanggil untuk mendidik
maka ia mencintai peserta didiknya dan memiliki perasaan wajib dalam melaksanakan
tugasnya disertai dengan dedikasi yang tinggi atau bertanggung jawab.
Menurut
Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo (1995), kompetensi yang
harus dimiliki oleh seorang guru adalah:
a.
Kompetensi
profesional. Artinya ia harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam
mengenai bidang studi yang akan di ajarkan kepada peserta didik dan
metodologinya, memiliki pengetahuan yang fundamental tentang pendidikan, serta
memiliki keterampilan yang vital bagi dirinya untuk memilih dan menggunakan
berbagai strategi yang tepat dalam proses pembelajaran.
b.
Kompetensi
personal. Artinya bahwa ia harus memiliki kepribadian yang mantap, sehingga
mampu menjadi sumber identifikasi khususnya bagi peserta didik dan umumnya bagi
sesama manusia.
c.
Kompetensi sosial.
Artinya ia bisa menunjukkan kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap
peserta didiknya, sesama guru, pemimpinnya, dan dengan masyarakat luas.
Selain
dengan tiga syarat kompetensi di atas, seorang guru juga dituntut mampu
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya (to serve the common good) disertai
dengan dedikasi yang tinggi untuk mencapai kesejahteraan insani (human
welfare), yang berarti mengutamakan nilai kemanusiaan diri pada nilai material.
-
Kedudukan pendidik
Pendidik
merupakan sosok yang memiliki kedudukan yang sangat penting bagi perkembangan
segenap potensi peserta didik. Ia menjadi orang yang paling menentukan dalam
perancangan dan penyiapan proses pendidikan dan pembelajaran di kelas, paling
menentukan dalam pengaturan kelas dan pengendalian siswa, pun pula dalam
penilaian hasil pendidikan dan pembelajaran yang dicapai siswa. Oleh karena itu
pendidik merupakan sosok yang amat menentukan dalam proses keberlangsungan dan
keberhasilan pendidikan dan pembelajaran.
-
Hakikat Tugas dan
Tanggung Jawab Guru
Menurut Raka
Joni (Conny R. Semiawan dan Soedijarto, 1991), hakikat tugas guru pada umumnya
berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan
paling menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa. Dengan perkataan lain bahwa guru mempunyai
tugas membangun dasar-dasar dari corak kehidupan manusia di masa yang akan
datang.
Dalam proses
pendidikan, pada dasarnya guru mempunyai tugas “mendidik dan mengajar” peserta
didik agar dapat menjadikan manusia yang dapat melaksanakan tugas kehidupannya
yang selaras dengan kodratnya sebagai manusia yang baik dalam kaitan
hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Tugas mendidik guru
berkaitan dengan transformasi nilai-nilai dan pembentukan pribadi, sedang tugas
mengajar berkaitan dengan transformasi pengetahuan dan keterampilan kepada
peserta didik. Namun bagi guru di kelas, tugas mendidik dan mengajar merupakan
tugas yang terpadu dan saling berkaitan.
Mengajar
merupakan “aktivitas intensional” yakni suatu aktivitas yang menimbulkan
belajar. Guru mendeskripsikan, menerangkan, memberi pertanyaan, dan
mengevaluasi. Guru juga mendorong, memberikan sanksi hukuman dan ganjaran, dan
membujuk; pendek kata ia melakukan banyak hal agar peserta didik dalam cara
yang guru sepakati.
Suatu hal
yang pokok guru adalah menjadikan peserta didik mengetahui atau melakukan
hal-hal dalam suatu cara yang formal. Ini berarti bahwa ia menstrukturisasi
pengetahuan atau keterampilan-keterampilan dalam suatu cara yang demikian rupa
sehingga menyebabkan peserta didik tidak hanya mempelajarinya melainkan juga
mengingatnya dan melakukan sesuatu dengannya. (Dirto Hadisusanto, Suryati
Sidharta, dan Dwi Siswoyo, 1995:101).
Dengan
tanggung jawab moral, guru dituntut untuk dapat mengejawantahkan nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, bangsa dan negara dalam diri pribadi,
karena nilai-nilai itu harus senantiasa terpadu dengan diri orang yang
menanamkan pada nilai agar usaha itu berhasil. Ini sesuai dengan prinsip
kesesuaian antara apa yang dikatakan (baik) dengan apa yang dilakukan baik.
Dalam soal nilai-nilai ada kecenderungan bahwa tindakan guru lebih banyak
diikuti oleh peserta didik dari pada apa yang dikatakannya. Sedangkan tanggung
jawab ilmiah, berkaitan dengan transformasi pengetahuan dan keterampilan yang
saat ini menuntut guru senantiasa belajar untuk memperluas cakrawala dan
perkembangan-perkembangan wawasan pengetahuannya sesuai dengan
perkembangan-perkembangan yang mutakhir, disertai wawasan yang filosofis
tentang pendidikan; sehingga pengambilan kebijakan atau keputusan dalam praktek
pendidikan tidak meninggalkan makna hakikinya yaitu proses pemanusiaan manusia.
2.2.3 ISI PENDIDIKAN
Mendidik
dan dididik merupakan perbuatan yang fundamental, ini tidak dapat disangkal.
Perbuatan ini mengubah dan menentukan hidup manusia. Dengan pendidikan, anak
menjadi tumbuh menjadi manusia. “mendidik adalah pertolongan atau pengaruh yang
diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak supaya anak menjadi
dewasa”. (Dyarkara, 2006: 414).
Supaya
anak menjadi dewasa tersebut ditetapkan isi/materi pendidikan yang relevan. Isi
pendidikan adalah segala sesuatu yang diberikan kepada peserta didik untuk
keperluan pertumbuhan isi pendidikan berbeda dengan isi pengajaran. Isi
pendidikan berupa:
1.
Nilai
2.
Pengetahuan
3.
Keterampilan
Hal ini
berkaitan dengan mendidik, yakni transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan
kepada peserta didik, dan jika mengajar berarti transfer pengetahuan dan
keterampilan.
Nilai
yang dimaksud adalah nilai-nilai kemanusiaan yang berupa pengalaman dan
penghayatan manusia mengenai hal-hal yang berharga bagi hidup manusia. Nilai
tersebut akan membentuk sikap dan kepribadian peserta didik pada hidup yang
baik.
Mengintegrasikan
nilai bukan proses yang sederhana. Hal tersebut melibatkan “hati nurani”. Nilai
dikembangbiakkan lewat refleksi dan ekspresi bebas, tetapi bermartabat. Proses
pembelajaran tidak hanya berhenti di otak, tetapi harus “dilakoni”. Siswa
menerima pelajaran selanjutnya diolah oleh pikiran (akal budi) dan selalu
diperbarui. Siswa diajak untuk memikirkan dunia yang indah dan bermanfaat bagi
kehidupannya.
Pengetahuan
menurut Poedjawijatna adalah hasil daripada tahu. Abbas Hamami, salah seorang
dosen filsafat Gadjah Mada, pengetahuan adalah hubungan subyek-subyek yang
disadari. Oleh karena itu pengetahuan sebetulnya meliputi segala aspek
kehidupan manusia, termasuk didalamanya nilai dan keterampilan. Hanya dalam isi
pendidikan yang kita bicarakan ini lebih mengacu pada pengetahuan yang berasal
dan pengalaman indera dan pengetahuan yang berasal dan pengalaman rasio/budi.
Keterampilan
diperoleh peserta didik melalui latihan. Contoh keterampilan menyepak bola,
maka peserta didik perlu dilatih berulang kali untuk menyepak/menendang bola
yang benar dan mempunyai akurasi sasaran tembak yang tepat. Keterampilan ini
meliputi keterampilan fisik, keterampilan berbicara dan keterampilan berpikir.
Keterampilan
diperoleh biasanya melalui pelatihan, kebiasaan. Jika latihan tersebut sering
diulang-ulang, maka hasil dari keterampilan tersebut akan semakin baik. Contoh:
seorang pemain sepak bola, seseorang akan semakin sempurna jika dia mengadakan
latihan yang berulang-ulang. Pengulangan dengan frekuensi yang banyak, semakin
akurat pada saat ia menendang bola.
Pada
saat melaksanakan pendidikan, guru harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.
Isi/materi harus
sesuai dan menunjang tercapainya tujuan. Hanya isi/materi yang sesuai dan
menunjang tujuan yang perlu diberikan.
2.
Urgensi materi,
yakni materi itu penting untuk diketahui oleh peserta didik. Di samping itu
sifat isi/materi tersebut merupakan landasan untuk mempelajari bahan
berikutnya.
3.
Nilai praktis atau
kegunaannya diartikan sebagai makna, (isi/materi itu) bagi kehidupan
sehari-hari.
4.
Materi tersebut
merupakan materi wajib, sesuai dengan tuntutan kurikulum.
5.
Materi yang sudah
diperoleh sumbernya, perlu diupayakan untuk diberikan kepada peserta didik.
(Sutan Zani Arbi, 1993: 28).
2.2.4 STRATEGI/METODE PEMBELAJARAN
Metode
adalah cara yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Metode
pendidikan adalah cara-cara yang dipakai oleh orang atau sekelompok orang untuk
membimbing anak/peserta didik sesuai dengan perkembangannya kearah tujuan yang
hendak dicapai. Metode pendidikan tersebut selalu terkait dengan proses
pendidikan, yaitu bagaimana cara melaksanakan kegiatan pendidikan agar tercapai
tujuan pendidikan.
Untuk
memilih metode yang tepat dalam proses pendidikan perlu diperhatikan hal-hal
berikut ini:
a.
Tujuan yang hendak
dicapai
b.
Kemampuan pendidik
c.
Kebutuhan peserta
didik
d.
Isi atau materi
pendidikan
Tujuan pendidikan
yang hendak dicapai antara negara yang satu dengan yang lain bisa berbeda. Hal
ini dikarenakan tujuan pendidikan suatu negara mempunyai ke-khas-an
sendiri-sendiri. Tujuan tersebut tidak bisa lepas dan tujuan negara hendak
dicapai. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 4
disebutkan tujuan Pendidikan Nasional “...berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Metode pendidikan yang dipakai
tentunya tidak akan menyimpang dari tujuan tersebut di atas. Jika kita cermati
lebih lanjut, maka yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional tersebut
adalah metode pemberian contoh, nasehat, dorongan, bimbingan dan juga memakai
metode yang digunakan dalam bentuk pendidikan yang demokratis.
Metode
pendidikan harus pula disesuaikan dengan kemampuan guru/pendidik. Guru yang
tidak menguasai praktek lapangan, misal menyepak bola (FPOK), memasang batu
bata (FPTK-Jurusan Bangunan), menari (Seni Tari FBS), maka sebaiknya
guru/pendidik tersebut tidak menggunakan metode pemberian contoh. Metode
pemberian contoh akan dilaksanakan guru/pendidik, jika guru tersebut menguasai
bidang praktek lapangan.
Kebutuhan
peserta didik merupakan faktor yang pertama harus diperhatikan, karena peserta
didiklah yang paling berkepentingan dalam proses pendidikan. Guru/pendidik
haruslah memperhatikan bakat, minat, sikap dan kemampuan peserta didik. Bagi
peserta didik yang kemampuannya di bawah rata-rata tentunya guru harus lebih
banyak membimbing dan memberi contoh pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan.
Kebutuhan peserta didik tidak akan lepas dan perkembangan peserta didik itu
sendiri.
Isi atau
materi pendidikan ikut pula menentukan metode pendidikan yang akan digunakan.
Isi atau materi pendidikan yang meliputi nilai-nilai, keterampilan dan
pengetahuan, humaniora dan kewarganegaraan mempunyai kecenderungan metode
pendidikan yang berbeda. Nilai-nilai lebih banyak pada metode pemberian contoh
dan nasehat. Pada bidang keterampilan dan pengetahuan disamping pemberian
contoh, juga diskusi, pemecahan masalah, tanya jawab dan sebagainya. Humaniora
dan kewarganegaraaan yang condong pada kawasan afektif lebih banyak pada
pemberian contoh dan problem solving, disamping metode lain yang relevan.
2.2.5 SARANA DAN PRASARANA
Sarana
dan prasarana pendidikan memiliki peran yang sama-sama penting seperti posisi
pendidik. Sarana prasarana dijadikan sebagai media dalam pembelajaran. Berhasil
tidaknya proses pembelajaran juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan
kelengkapan sarana dan prasarana. Fungsi sarana dan prasarana:
1.
Media pembelajaran
dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan
meningkatkan proses dan hasil belajar.
2.
Media pembelajaran
dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak dan sehingga dapat
menimbulkan motivasi belajar, interaksi langsung antara siswa dan
lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-sendiri sesuai
dengan kemampuan dan minatnya.
3.
Media pembelajaran
dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa
di lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadi interaksi langsung dengan
guru, masyarakat dan lingkungan, misalnya melalui karyawisata,
kunjungan-kunjungan ke museum atau kebun binatang.
Sarana prasarana umum yaitu:
1.
Ruang kelas beserta
perlengkapannya (perabotannya)
2.
Ruang praktikum
(laboratorium) beserta perangkatnya
3.
Ruang perpustakaan
beserta perangkatnya
4.
Ruang serbaguna
beserta perlengkapannya
5.
Ruang BP/BK beserta
perlengkapannya
6.
Ruang Kepala
Sekolah, guru dan Tata Usaha beserta perabotannya
7.
Toilet
8.
Ruang ibadah
beserta perlengkapannya
9.
Ruang kantin
Sarana khusus yaitu:
1.
Alat Asesment
2.
Orientasi Mobilitas
3.
Alat Bantu visual
4.
Alat bantu auditif
5.
Alat latihan fisik
Klasifikasi sarana prasarana khusus
Dalam
klasifikasi media pembelajaran menurut Leshin, polock & Reigeluth dalam
arsyad mengacu pada kebutuhan anak secara spesifik, dibagi menjadi dalam 2
garis besar yakni media pembelajaran bagi anak buta total dan media
pembelajaran bagi anak low vision.
-
Media pembelajaran
bagi anak buta total
Anak buta total tidak dapat memanfaatkan semua jenis
media pembelajaran yang ada di sekolah pada umumnya. Dengan mempertimbangkan
keterbatasan dan potensi yang dimiliki anak buta total, maka media pembelajaran
mereka dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Media berbasis
manusia termasuk didalamnya guru, instruktur, kelompok.
2.
Media berbasis
cetak: buku-buku Braille, bagan timbul, grafik timbul, denah, peta timbul,
miniatur dan benda tiruan.
3.
Media berbasis
audio: rekaman suara dengan kaset, rekaman dengan CD/ piringan radio, tape.
4.
Media berbasis
komputer: talking komputer, printer Braille, display Braille, perpustakaan
Braille on-line.
5.
Media berbasis
benda asli dan lingkungan benda-benda di sekitar, lingkungan sosial dan
lingkungan alam.
-
Media pembelajaran
bagi anak low vision
Pada anak low vision masih mungkin memanfaatkan sebagian
besar media pembelajaran dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan sisa
penglihatannya.
1.
Media berbasis
manusia: guru, instruktur, tutor, main peran, dan kegiatan kelompok.
2.
Media berbasis
cetak: buku penuntun, buku latihan, alat bantu kerja dan lembaran lepas.
3.
Media berbasis
visual: buku, alat bantu kerja, bagan, grafik, peta gambar, close circuit
television (CCTV) transparasi, slide dan benda tiruan (miniatur).
4.
Media berbasis
audio-visual: video, film, program slide-tape, televisi.
5.
Media berbasis
computer :JAWS (Job for accass with Spech) adalah program screen-reader atau
pembaca layar.
2.2.6 SISTEM EVALUASI
Istilah
sistem menunjuk pada himpunan komponen (unsur, bagian) yang satu sama lain
saling berkaitan secara fungsional menjadi suatu kesatuan yang bulat dan utuh
untuk mencapai suatu tujuan (Amirin, 1984). Secara fungsional, dimaksudkan
unsur-unsur tersebut saling berkait sesuai denganfungsinya masing-masing.
Sistem
evaluasi berkaitan dengan kurikulum. Bentuk evaluasi yaitu formatif maupun
sumatif. Kedua jenis evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui keberhasilan
guru dalam mengajar dilihat dari prestasi atau hasil yang telah dikuasai siswa,
yang pada akhirnya diarahkan untuk mengkaji seberapa jauh kurikulum telah
dilaksanakan.
Evaluasi
formatif adalah evaluasi atau penilikan yang dilakukan oleh guru setelah satu
pokok bahasan selesai dipelajari oleh siswa. Evaluasi formatif terutama
dimaksudkan untuk memberikan umpan balik kepada guru mengenai keberhasilan
program mengajarnya. Dalam hal ini keberhasilan siswa merupakan petunjuk utama
keberhasilan program mengajar yang diselenggarakan oleh guru pemegang bidang
studi yang bersangkutan, dan jenis evaluasi ini dikenal sebagai ulangan harian.
Evaluasi
sumatif atau dikenal dengan tes sumatif adalah tes yang diselenggarakan oleh
guru setelah satu jangka waktu tertentu (semester). Tes sumatif ini dalam
pelaksanaannya sering disebut dengan ulangan umum yang biasanya diselenggarakan
secara serentak untuk seluruh sekolah. Butir-butir soal untuk tes sumatif,
jumlah dan kualitasnya harus lebih dibandingkan dengan butir-butir dalam tes
formatif. Perlu diperhatikan bahwa tes sumatif bukan hanya sekedar gabungan dan
soal-soal tes formatif atau memilih beberapa butir soal formatif. Beberapa
butir soal harus mengukur kemampuan siswa dalam kaitannya dengan
pengertian-pengertian yang terkandung dalam beberapa pokok bahasan yang
terpisah.
2.4
LAPORAN HASIL
OBSERVASI DI SDSLB A YAKETUNIS
SLB A
Yaketunis adalah sekolah yang dikelola oleh yayasan yang berbasis Islam.
Yayasan Yaketunis terdiri dari sekolah SD SLB A dan MTs Yaketunis sebagai
sekolah lanjutan bagi siswa SD SLB A yang melanjutkan ke tingkat lanjutan.
Yang penyusun observasi adalah SD SLB A Yaketunis.
Penyusun memperoleh data yaitu sebagai berikut:
Peserta didik di SD SLB A Yaketunis
berjumlah 21 orang dengan rincian:
Kelas 1 A : 3 siswa
1
B : 1 siswa (kelas lanjutan dari 1A
sebelum naik ke kelas 2)
2
A : 1 siswa
2
B : 2 siswa (kelas lanjutan dari 2A)
2
G : 1 siswa
3G : 1 siswa (Tunanetra, mental dan wicara)
4 : 2 siswa
5A : 3 siswa
5B : 4 siswa
6A : 2 siswa
6G : 1 siswa
Pendidik
di SDSLB A Yaketunis berjumlah 19 guru tetap dan 2 guru tidak tetap (GTT) dengan
rincian sebagai berikut:
1.
Guru Kelas : 7 orang
2.
Orientasi dan
Mobilitas : 2 orang (bersama Kepala
Sekolah)
3.
Penjaskes : 1 orang
4.
SBK (Seni Budaya) : 1 orang
5.
Massase : 1 orang
(merangkap jadi guru keterampilan)
6.
Keterampilan : 2 orang (1 orang guru
komputer)
Kualifikasi pendidik pada SDSLB A Yaketunis yaitu:
1.
SGPLB berjumlah 5
orang
2.
S1 (mayoritas)
3.
S2 2 orang (1 guru
Agama Islam dan 1 masih menempuh pendidikan)
4.
GTT (Pendidikan non
PLB namun tengah mengikuti sertifikasi PLB)
5.
5 guru Tunanetra
Isi/materi yang diajarkan di SDSLB A Yaketunis yaitu
sebagai berikut:
1.
Pelajaran
pengetahuan Umum
2.
Pendidikan agama
Islam (program unggulan)
3.
Keterampilan
Strategi/metode yang diterapkan pada
SDSLB A Yaketunis yaitu:
1.
Sistem kelas yang
diterapkan adalah sistem campuran antara the blind dan low vision.
2.
Sistem kelas
kelompok yaitu disesuaikan dengan tingkat IQ dan ketunagandaan.
3.
Layanan yang
diberikan sesuai dengan perkembangan usianya dan berdasarkan hasil assesmen.
Sarana prasarana yang ada di SDSLB A Yaketunis yaitu:
1.
Aula
2.
Ruang kelas
3.
Perpustakaan
4.
Laboratorium
komputer
5.
Mushola
6.
Unit kesehatan
sekolah (UKS)
7.
Alat peraga untuk
IPA, IPS, dan keterampilan
8.
Asrama siswa
9.
Ruang makan
10.
Riglet dan stylus
11.
Lantai yang di
desain khusus untuk mempermudah orientasi dan mobilitas
12.
Kamar mandi
Sistem evaluasi yang diterapkan yaitu:
Prinsipnya sama seperti pada sekolah umum yaitu:
1.
Tes formatif
(dilakukan oleh guru setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari oleh siswa).
2.
Tes sumatif
(diselenggarakan oleh guru setelah jangka waktu tertentu (semester).
PEMBAHASAN DARI HASIL OBSERVASI DI SDSLB A YAKETUNIS
Penyelenggarakan
pendidikan di SDSLB A Yaketunis antara jumlah peserta didik dengan tenaga
pendidik yang ada cukup memenuhi. Dalam arti jumlah pendidik jumlahnya lebih
banyak dari siswanya. Sehingga setiap siswa bisa terlayani dengan baik sesuai
dengan kebutuhannya. Penyusun menilai apabila jumlah pendidik lebih banyak dari
jumlah siswanya tentu ini berdampak positif dalam hal keberhasilan proses
pemberian pendidikan. Hal ini berarti sesuai dengan prinsip individual, satu
siswa di ampu oleh satu guru, meskipun pada SDSLB A Yaketunis menerapkan sistem
klasikal.
Mengenai
kualifikasi pendidik di SDSLB A Yaketunis mayoritas pendidikan terakhir S1 PLB,
S2, dan SGPLB yang tengah menyelesaikan pendidikan S1. Kualifikasi pendidik di
SLB ini cukup berkualitas. Pendidik di SLB A Yaketunis memiliki kompetensi yang
baik di bidang pendidikan tunanetra. Ada 5 guru yang tunanetra dan satu dari
mereka ada yang pernah menjadi guru teladan tingkat nasional. Ini merupakan
suatu kebanggaan secara personal disamping juga sekolah. Prestasi guru dalam
mengantarkan siswa-siswinya di berbagai kompetensi kejuaraan dibuktikan dengan
banyaknya tropi kejuaraan yang diraih oleh siswa-siswi yang rata-rata menyabet
juara 1 dan 2.
Materi
pendidikan yang dikembangkan di SDSLB A Yaketunis yaitu pendidikan nilai yang
bernuansa Islami selain pelajaran dan pengetahuan umum seperti di
sekolah-sekolah normal. Sekolah menanamkan pendidikan nilai melalui pengajian,
baca Al-Qur’an Braille, dan kegiatan pembelajaran sehari-hari.
Keberhasilan
pendidikan tentu berkaitan dengan strategi yang diterapkan. Dalam hal pemberian
pembelajaran, siswa di kelompokkan dan pendidikan mengacu terhadap hasil dari
assesmen. Ini akan mempermudah dalam hal memberikan pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhannya.
Untuk sarana
prasarana di SDSLB A Yaketunis sudah baik namun masih ada beberapa sarana yang
beluma ada yaitu:
1.
Sarana olahraga
adaptif
2.
Replika benda-benda
untuk alat peraga khusus mata pelajaran IPA
3.
Lapangan olahraga
beserta peralatannya
4.
Ruang praktikum
Kendala
yang dihadapi dalam pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan di SDSLB A
Yaketunis yaitu tidak ada upaya yang signifikan yang dilakukan oleh lembaga
tersebut. Keinginan untuk memenuhi sarana dan prasarana tersebut tentu saja
ada, dalam kenyataannya, lembaga tersebut hanya menantikan bantuan dari
pihak-pihak terkait.
Demikian
pembahasan mengenai hasil observasi di SDSLB A Yaketunis.
BAB 3
PENUTUP
1.1
KESIMPULAN
Layanan
anak berkebutuhan khusus dengan kategori A mempunyai beberapa standar pelayanan
minimal yang harus dipenuhi oleh tiap-tiap satuan pendidikan yang melaksanakan
pelayana di bidang ini.
Proses
pembelajaran yang mendukung dan memperhatikan proses perkembangan karakteristik
peserta didik tunanetra harus disesuaikan dengan hal tersebut di atas. Beberapa kesimpulan yang
didapat dari laporan hasil observasi pelayanan anak berkebutuhan khusus di
SDSLB A Yaketunis, antara lain:
-
Komponen pendidikan
di SDSLB A Yaketunis yaitu meliputi peserta didik, pendidik dengan kualifikasi
yang cukup baik, isi/materi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswanya,
strategi pendidikan yaitu mengacu pada hasil assesmen, sarana dan prasarana
pendidikan yang sudah memadai, dan sistem evaluasi yang kesemuanya saling berkaitan
dan mendukung demi ketercapaian hasil pembelajaran yang berhasil.
-
Sarana dan
prasarana di SDSLB A Yaketunis sudah memadai untuk beberapa sarana prasarana
dan tengah dilengkapi.
-
Pelayanan tambahan
bagi tunarungu perlu dioptimalkan agar ABK dengan gangguan penglihatan mampu
secara optimal beradaptasi dan berkomunikasi di tengah kompleksitas masyarakat
yang majemuk.
1.2
SARAN
Setelah
menyimpulkan hasil observasi mengenai pelayanan anak berkebutuhan khusus di
SDSLB A Yaketunis, beberapa saran yang penyusun ajukan untuk proses
pembelajaran yang optimal pada tiap-tiap satuan pendidikan khususnya pengelola
pendidikan khusus terutama di bidang kategori A (tunanetra) antara lain:
1.
Guna proses
pembelajaran yang optimal penggunaan sarana dan prasarana yang ada harus
digunakan seoptimal mungkin
2.
Melengkapi sarana
dan prasarana untuk menunjang proses pembelajaran di SLB khususnya tiap-tiap
satuan pendidikan sebaiknya menganalisa kebutuhan dan sarana prasarana yang
harus disesuaikan dan disediakan bila belum ada
3.
Proses pembelajaran
akan berjalan bila tiap-tiap elemen pada masing-masing satuan pendidikan dapat
berjalan dan bekerjasama secara berkesinambungan sehingga kerjasama yang baik
harus selalu dipertahankan dan ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Dwi
Siswoyo, dkk. (2008). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Hartati
Sukirman, dkk. (2008). Administrasi dan Supervisi Pendidikan.
Yogyakarta: Jurusan Administrasi Pendidikan.
Widjajantin,
Anastasia dan imanuel hitipeuw. (1996). Orthopedagogik Tunanetra I.
Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Guru, Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar