4.30.2012

KOMPONEN PENDIDIKAN ANAK TUNANETRA DI SD SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA

KOMPONEN PENDIDIKAN ANAK TUNANETRA
DI SD SLB A YAKETUNIS YOGYAKARTA
MAKALAH
Disusun guna memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah
Pendidikan Anak Tunanetra Semester 3

Dosen pengampu: Dra. Sari Rudiyati, M.Pd.

Disusun oleh:
NAMA            : ERIC SUWARDANI
           NIM                : 08103244029



PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2009




BAB 1
PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG
Pendidikan merupakan suatu kebutuhan setiap manusia dalam kehidupan, sebagai usaha sadar manusia untuk mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan ayat (3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem Pendidikan Nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dalam undang-undang. Oleh karena itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.
Penyandang tunanetra merupakan individu yang memiliki hak yang sama seperti individu normal di dalam pendidikan. Hak mereka tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 1997 tentang penyandang cacat pasal 11 yang berbunyi setiap penyandang cacat mempunyai kesamaan untuk mendapat pendidikan pada satuan, jalur, dan jenjang pendidikan sesuai jenis dan derajat kecacatan, sedangkan pasal 12 menekankan bahwa setiap lembaga pendidikan memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama kepada penyandang cacat sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis dan pendidikan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya serta kemampuannya. Dengan demikian hak para penyandang cacat termasuk para penyandang tunarungu memperoleh kesempatan yang sama dalam pendidikan dan hal tersebut dijamin oleh undang-undang.
Pentingnya pemberian pendidikan khusus bagi anak yang mengalami hambatan penglihatan di Indonesia masih sangat kurang usaha dan antusiasnya. Hal ini terlihat pada kesadaran sebagian besar para orangtua yang belum memberikan pendidikan yang baik kepada anaknya yang mengalami hambatan dalam penlihatan. Pentingnya pendidikan dini di keluarga berdampak pada kondisi anak saat masuk ke lingkungan sekolah. Apabila orangtua sejak dini sudah memberikan pendidikan, kondisi anak ketika masuk sekolah tidak begitu buruk. Namun bagi orangtua yang belum memberikan pendidikan bagi anaknya hal ini bisa dilihat dari kondisi anak saat memasuki bangku sekolah yang mengalami kesulitan. Anak dalam keadaan tidak tahu tentang dirinya yaitu bahwa dirinya mengalami hambatan dalam penglihatan.
Selain permasalahan kurangnya kesadaran orangtua terhadap pendidikan anaknya yang mengalami hambatan penglihatan, banyak anak-anak tunanetra yang dibiarkan begitu saja sampai usia tua baru akan dimasukkan ke bangku sekolah. Lebih parahnya lagi seorang anak tunanetra yang dibiarkan begitu saja tanpa diberi pendidikan di keluarga dan tidak dimasukkan ke bangku sekolah. Sungguh ironis memang. Namun inilah kenyataan orangtua di negara Indonesia yang belum memahami arti pentingnya pendidikan dengan segala keterbatasan yang ada pada diri anak.
Kurangnya sikap menerima dan ikhlas dari orangtua juga ikut mewarnai pendidikan bagi anak tunanetra. Sikap tidak mau menerima dengan kenyataan yang ada membuat kondisi anak semakin menarik diri. Ini jelas mengganggu perkembangan psikologisnya. Anak yang memiliki sejuta potensi terancam tidak bisa dikembangkan dengan maksimal.
Untuk itu mulailah menumbuhkan kesadaran bahwa anak tunanetra juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, memiliki kebutuhan untuk bisa diterima di dalam masyarakat dengan keterbatasan yang ada serta perlunya dukungan secara moril untuk perkembangan mental anak tunanetra supaya memiliki kepercayaan diri terhadap potensi yang dimilikinya. Perlu juga mengubah paradigma lama tentang anak tunanetra bahwa anak tunanetra tidak mampu untuk hidup mandiri. Yang terpenting adalah sikap orangtua untuk menerima dengan ikhlas kondisi keterbatasan pada anak.
            Penyusun mengambil contoh komponen pendidikan di SLB A Yaketunis Yogyakarta. SLB ini khusus menangani anak-anak dengan gangguan penglihatan. Ini tentunya memiliki cara yang berbeda dalam hal pelayanan pendidikan karena hanya menangani anak dengan gangguan pendengaran di banding dengan SLB yang menangani beberapa gangguan. Semua komponen pendidikan terfokus atau dispesifikasikan untuk menangani anak tunanetra dari tingkat dasar sampai tingkat lanjutan.

1.2              RUMUSAN MASALAH
Proses pembelajaran pada tiap satuan pendidikan tidak pernah dapat disamakan sebagaimana dituangkan dalam kurikulum konvensional yang telah banyak direvisi melalui Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan. Dalam pada itu, pelayanan pada tingkat satuan pendidikan khususnya Anak Berkebutuhan khusus tidak sama.
Beberapa kajian permasalahan yang penyusun ajukan melalui observasi komponen pendidikan terhadap anak berkebutuhan khusus yang penyusun laksanakan di SLB A Yaketunis yaitu sebagai berikut:
1.      Bagaimana komponen pendidikan anak tunanetra di SDSLB A Yaketunis?
2.      Kendala yang dihadapi dalam pemenuhan komponen pendidikan di SDSLB A Yaketunis?


BAB 2
PEMBAHASAN


2.1              PENGERTIAN ANAK TUNANETRA
            Kata tunanetra itu sendiri tidak asing bagi kebanyakan orang, tetapi masih banyak yang belum memahaminya. Pengertian anak tuanetra itu sendiri banyak ragamnya, sebab dapat ditinjau dari segi harfiah, kiasan, metafisika, medis, fungsional ataupun dari segi pendidikan. Dipandang dari segi bahasa, kata tunanetra terdiri dari kata tuna dan netra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1990: 971) tuna mempunyai arti rusak, luka, kurang, tidak memiliki, sedangkan netra (Depdikbud, 1990: 613) artinya mata. Tunanetra artinya rusak matanya atau tidak memiliki mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya. Menurut White Confrence pengertian tunanetra adalah sebagai berikut:
1.            Seseorang dikatakan buta baik total maupun sebagian (low vision) dari kedua matanya sehingga tidak memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kacamata.
2.            Seseorang dikatakan  buta untuk pendidikan bila mempunyai ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata yang terbaik setelah mendapat perbaikan yang diperlukan atau mempunyai ketajaman penglihatan lebih dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan dalam lantang pandangnya sehingga luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak lebih dari 20 derajat.
            Menurut pendidikan kebutaan (blindness) difokuskan pada kemampuan siswa dalam menggunakan penglihatan sebagai suatu saluran belajar. Anak yang tidak dapat menggunakan penglihatannya dan bergantung pada indera lain seperti pendengaran, perabaan, inilah yang disebut buta secara pendidikan (Hardman, et.al. 1990: 313).

2.2              PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNANETRA
            Tujuan pendidikan bagi anak tunanetra secara menyeluruh maupun untuk tunanetra adalah sama. Tujuannya adalah membantu anak tunanetra dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional adalah meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang  beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertangggung jawab, mandiri, cerdas, dan terampil serta sehat jasmani dan rohani.
            Tujuan khusus pendidikan bagi anak tunanetra adalah:
1.               Agar anak tunanetra memahami ketunaannya dan dapat menerima keadaannya.
2.             Agar anak tunanetra menyadari bahwa mereka merupakan anggota masyarakat, warga negara dengan hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain.
3.               Agar anak tunanetra mampu berusaha dan berjuang untuk keperluannya sendiri.
4.               Agar tunanetra mempunyai keterampilan dan pengetahuan sesuai dengan kemampuannya, sehingga dapat mencari nafkah.
5.               Agar tunanetra dapat bergaul dengan masyarakat, tanpa harus merasa rendah diri dan canggung.

2.2.1        LANDASAN PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNANETRA
            Mengetahui landasan penyelenggaraan pendidikan luar biasa secara umum ataupun khusus bagi yang tunanetra sangat penting. Karena dapat mengetahui sejarah perkembangan dan kemajuan penyelenggaraan pendidikan luar biasa.
            Landasan tersebut yaitu sebagai berikut:
1.                  Landasan pendidikan tunanetra berdasarkan historis atau sejarah.
            Pada jaman kuno atau primitif, manusia masih mengandalkan kekuatan fisik untuk mencari nafkah. Kekuatan fisik dalam mencari nafkah atau makan dengan jalan berburu. Dengan demikian anak tunanetra tidak dapat berburu. Maka kehidupannya akan tergantung pada orang lain. Pada abad sebelum pertengahan 18, jika bayi lahir dalam keadaan tunanetra total, segera dibunuh. Jika mengalami tunanetra sudah dewasa, maka ia akan disingkirkan atau diperalat untuk mencari uang.
2.                  Landasan pendidikan tunanetra berdasarkan psikologis atau ilmu jiwa.
            Ilmu jiwa berpendapat pendidikan yang baik akan menambah harga diri dan percaya diri tunanetra. Seyogyanya pendidikan yang baik bila dikaitkan dengan kodrat manusia. Manusia mempunyai kodrat yang tidak dapat dihindari, yaitu:
-       Manusia itu lemah
-       Manusia tidak ada yang sempurna
-       Manusia sebagai makhluk sosial
-       Manusia selalu ingin berkembang
-       Tidak ada manusia yang sama

            Manusia dengan kodratnya membutuhkan kehadiran orang lain. Orang atau anak yang menyandang kecacatan juga membutuhkan kehadiran orang lain. Kehadiran orang lain tentunya dengan bekal pengetahuan tentang anak cacat yang memadai. Selain pengetahuan yang memadai, juga sikap yang tepat dalam menghadapi mereka. Sikap tersebut berupa ketelatenan, kesabaran, keuletan, kemampuan mencipta (kreativitas), dan keaktifan dalam mencipta.
3.                  Landasan pendidikan tunanetra berdasarkan sosiologis atau perkembangan masyarakat.
            Perkembangan masyarakat akan membawa dampak pada perkembangan pendidikan luar biasa. Dampak tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Dampak positif berarti pendidikan luar biasa dapat berkembang menuju suatu kemajuan. Dampak negatif berarti pendidikan luar biasa tidak dapat maju. Ketidakmajuan tersebut dapat macet (hidup tidak, matipun tidak) ataupun bubar.
4.                  Landasan pendidikan tunanetra berdasarkan yuridis formal atau hukum.
                        Dasar hukum pendidikan tunanetra:
1.            Undang-Undang Dasar 1945
2.            Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 04 junto No. 12 tahun 1954
3.            Undang-Undang Pokok Pendidikan No. 02 tahun 1989.
4.            Garis-Garis Besar Haluan Negara.
5.            Pidato Presiden Soeharto.

2.3                                               2.3       KOMPONEN PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNANETRA
            Dalam pendidikan anak tunanetra terdapat komponen-komponen yang saling mendukung yaitu sebagai berikut:
1.            Peserta didik
2.            Pendidik
3.            Isi pendidikan
4.            Strategi pendidikan
5.            Sarana dan prasarana
6.            Sistem evaluasi
           
2.2.1        PESERTA DIDIK
            Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pendidikan. Sosok peserta didik umumnya merupakan sosok anak yang membutuhkan bantuan orang lain untuk bisa tumbuh dan berkembang ke arah kedewasaan. Ia adalah sosok yang selalu mengalami perkembangan sejak lahir sampai meninggal dengan perubahan-perubahan yang terjadi secara wajar (Sutari Imam Barnadib, 1995). Istilah peserta didik pada pendidikan formal/sekolah jenjang dasar dan menengah, dikenal dengan nama anak didik atau siswa; pada pendidikan pondok pesantren disebut santri, dan pada pendidikan tertentu seperti kelompok belajar paket C atau lembaga kursus, peserta didik disebut peserta ajar yang terkadang terdiri dari para orang tua.
            Menurut Sutari Imam Barnadib (1995) peserta didik sangat tergantung dan membutuhkan bantuan dari orang lain yang memiliki kewibawaan dan kedewasaan. Sebagai anak, dan serba kekurangan dibanding orang dewasa; namun dalam dirinya terdapat potensi bakat-bakat dan disposisi luar biasa yang memungkinkan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan.
            Ciri khas peserta didik sebagaimana dijelaskan oleh Umar tirtarahardja dan La Sulo (1994) adalah bahwa peserta didik merupakan:
a.                   Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas
b.                  Individu yang sedang berkembang
c.                   Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi
d.                  Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri
                     Peserta didik pada pendidikan tunanetra yaitu peserta didik yang mengalami hambatan dalam penglihatan sehingga membutuhkan bantuan pendidikan khusus dalam proses belajarnya untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.

2.2.2        PENDIDIK
            Kajian tentang pendidik mencakup beberapa hal pokok antara lain pengertian dan sebutan pendidik, kompetensi pendidik, kedudukan pendidik, hakekat tugas dan tanggung jawab guru, profesionalisme guru, organisasi profesi dan kode etik guru.
-                Pengertian pendidik
               Pendidik adalah setiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. (Sutari Imam Barnadib, 1994). Pendapat ahli lain mengatakan bahwa pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik (Umar tirtarahardja dan La Sulo, 1994). Pendidik adalah orang yang dengan sengaja membantu orang lain untuk mencapai kedewasaan (Langeveld).
               Penyebutan nama pendidik di beberapa tempat memiliki sebutan yang berbeda. Pendidik di lingkungan keluarga adalah orang tua dari anak-anak yang biasanya menyebut dengan sebuan ayah-ibu atau papa-mama. Pada lingkungan pesantren biasanya disebut dengan ustadz, kyai, romo kyai. Pada lingkungan pendidikan di masyarakat penyebutan pendidik dengan istilah tutor, fasilitator, atau instruktur. Pada lingkungan sekolah disebut dengan guru. Guru adalah pendidik yang berada di lingkungan sekolah. Undang-Undang nomor 14 Tahun 2005 Tentang guru dan dosen menyebut guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
-                Kompetensi sebagai persyaratan pendidik
               Seseorang yang menginginkan menjadi pendidik maka ia dipersyaratkan mempunyai kriteria yang diinginkan oleh dunia pendidikan. Tidak semua orang bisa menjadi pendidik kalau yang bersangkutan tidak bisa menunjukkan bukti dengan kriteria yang ditetapkan. Dalam hal ini oleh Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo (1995) syarat seorang pendidik adalah:
1.               Mempunyai perasaan terpanggil sebagai tugas suci
2.               Mencintai dan mengasihi peserta didik.
3.               Mempunyai rasa tanggung jawab yang didasari penuh akan tugasnya.
            Ketiga persyaratan tersebut merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Orang yang merasa terpanggil untuk mendidik maka ia mencintai peserta didiknya dan memiliki perasaan wajib dalam melaksanakan tugasnya disertai dengan dedikasi yang tinggi atau bertanggung jawab.
            Menurut Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharto, dan Dwi Siswoyo (1995), kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru adalah:
a.          Kompetensi profesional. Artinya ia harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai bidang studi yang akan di ajarkan kepada peserta didik dan metodologinya, memiliki pengetahuan yang fundamental tentang pendidikan, serta memiliki keterampilan yang vital bagi dirinya untuk memilih dan menggunakan berbagai strategi yang tepat dalam proses pembelajaran.
b.         Kompetensi personal. Artinya bahwa ia harus memiliki kepribadian yang mantap, sehingga mampu menjadi sumber identifikasi khususnya bagi peserta didik dan umumnya bagi sesama manusia.
c.          Kompetensi sosial. Artinya ia bisa menunjukkan kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap peserta didiknya, sesama guru, pemimpinnya, dan dengan masyarakat luas.
            Selain dengan tiga syarat kompetensi di atas, seorang guru juga dituntut mampu memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya (to serve the common good) disertai dengan dedikasi yang tinggi untuk mencapai kesejahteraan insani (human welfare), yang berarti mengutamakan nilai kemanusiaan diri pada nilai material.
-       Kedudukan pendidik
               Pendidik merupakan sosok yang memiliki kedudukan yang sangat penting bagi perkembangan segenap potensi peserta didik. Ia menjadi orang yang paling menentukan dalam perancangan dan penyiapan proses pendidikan dan pembelajaran di kelas, paling menentukan dalam pengaturan kelas dan pengendalian siswa, pun pula dalam penilaian hasil pendidikan dan pembelajaran yang dicapai siswa. Oleh karena itu pendidik merupakan sosok yang amat menentukan dalam proses keberlangsungan dan keberhasilan pendidikan dan pembelajaran.
-       Hakikat Tugas dan Tanggung Jawab Guru
        Menurut Raka Joni (Conny R. Semiawan dan Soedijarto, 1991), hakikat tugas guru pada umumnya berhubungan dengan pengembangan sumber daya manusia yang pada akhirnya akan paling menentukan kelestarian dan kejayaan kehidupan bangsa.  Dengan perkataan lain bahwa guru mempunyai tugas membangun dasar-dasar dari corak kehidupan manusia di masa yang akan datang.
        Dalam proses pendidikan, pada dasarnya guru mempunyai tugas “mendidik dan mengajar” peserta didik agar dapat menjadikan manusia yang dapat melaksanakan tugas kehidupannya yang selaras dengan kodratnya sebagai manusia yang baik dalam kaitan hubungannya dengan sesama manusia maupun dengan Tuhan. Tugas mendidik guru berkaitan dengan transformasi nilai-nilai dan pembentukan pribadi, sedang tugas mengajar berkaitan dengan transformasi pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik. Namun bagi guru di kelas, tugas mendidik dan mengajar merupakan tugas yang terpadu dan saling berkaitan.
        Mengajar merupakan “aktivitas intensional” yakni suatu aktivitas yang menimbulkan belajar. Guru mendeskripsikan, menerangkan, memberi pertanyaan, dan mengevaluasi. Guru juga mendorong, memberikan sanksi hukuman dan ganjaran, dan membujuk; pendek kata ia melakukan banyak hal agar peserta didik dalam cara yang guru sepakati.
        Suatu hal yang pokok guru adalah menjadikan peserta didik mengetahui atau melakukan hal-hal dalam suatu cara yang formal. Ini berarti bahwa ia menstrukturisasi pengetahuan atau keterampilan-keterampilan dalam suatu cara yang demikian rupa sehingga menyebabkan peserta didik tidak hanya mempelajarinya melainkan juga mengingatnya dan melakukan sesuatu dengannya. (Dirto Hadisusanto, Suryati Sidharta, dan Dwi Siswoyo, 1995:101).
        Dengan tanggung jawab moral, guru dituntut untuk dapat mengejawantahkan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, bangsa dan negara dalam diri pribadi, karena nilai-nilai itu harus senantiasa terpadu dengan diri orang yang menanamkan pada nilai agar usaha itu berhasil. Ini sesuai dengan prinsip kesesuaian antara apa yang dikatakan (baik) dengan apa yang dilakukan baik. Dalam soal nilai-nilai ada kecenderungan bahwa tindakan guru lebih banyak diikuti oleh peserta didik dari pada apa yang dikatakannya. Sedangkan tanggung jawab ilmiah, berkaitan dengan transformasi pengetahuan dan keterampilan yang saat ini menuntut guru senantiasa belajar untuk memperluas cakrawala dan perkembangan-perkembangan wawasan pengetahuannya sesuai dengan perkembangan-perkembangan yang mutakhir, disertai wawasan yang filosofis tentang pendidikan; sehingga pengambilan kebijakan atau keputusan dalam praktek pendidikan tidak meninggalkan makna hakikinya yaitu proses pemanusiaan manusia.

2.2.3     ISI PENDIDIKAN
            Mendidik dan dididik merupakan perbuatan yang fundamental, ini tidak dapat disangkal. Perbuatan ini mengubah dan menentukan hidup manusia. Dengan pendidikan, anak menjadi tumbuh menjadi manusia. “mendidik adalah pertolongan atau pengaruh yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak supaya anak menjadi dewasa”. (Dyarkara, 2006: 414).
            Supaya anak menjadi dewasa tersebut ditetapkan isi/materi pendidikan yang relevan. Isi pendidikan adalah segala sesuatu yang diberikan kepada peserta didik untuk keperluan pertumbuhan isi pendidikan berbeda dengan isi pengajaran. Isi pendidikan berupa:
1.      Nilai
2.      Pengetahuan
3.      Keterampilan
            Hal ini berkaitan dengan mendidik, yakni transfer nilai, pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik, dan jika mengajar berarti transfer pengetahuan dan keterampilan.
            Nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai kemanusiaan yang berupa pengalaman dan penghayatan manusia mengenai hal-hal yang berharga bagi hidup manusia. Nilai tersebut akan membentuk sikap dan kepribadian peserta didik pada hidup yang baik.
            Mengintegrasikan nilai bukan proses yang sederhana. Hal tersebut melibatkan “hati nurani”. Nilai dikembangbiakkan lewat refleksi dan ekspresi bebas, tetapi bermartabat. Proses pembelajaran tidak hanya berhenti di otak, tetapi harus “dilakoni”. Siswa menerima pelajaran selanjutnya diolah oleh pikiran (akal budi) dan selalu diperbarui. Siswa diajak untuk memikirkan dunia yang indah dan bermanfaat bagi kehidupannya.
            Pengetahuan menurut Poedjawijatna adalah hasil daripada tahu. Abbas Hamami, salah seorang dosen filsafat Gadjah Mada, pengetahuan adalah hubungan subyek-subyek yang disadari. Oleh karena itu pengetahuan sebetulnya meliputi segala aspek kehidupan manusia, termasuk didalamanya nilai dan keterampilan. Hanya dalam isi pendidikan yang kita bicarakan ini lebih mengacu pada pengetahuan yang berasal dan pengalaman indera dan pengetahuan yang berasal dan pengalaman rasio/budi.
            Keterampilan diperoleh peserta didik melalui latihan. Contoh keterampilan menyepak bola, maka peserta didik perlu dilatih berulang kali untuk menyepak/menendang bola yang benar dan mempunyai akurasi sasaran tembak yang tepat. Keterampilan ini meliputi keterampilan fisik, keterampilan berbicara dan keterampilan berpikir.
            Keterampilan diperoleh biasanya melalui pelatihan, kebiasaan. Jika latihan tersebut sering diulang-ulang, maka hasil dari keterampilan tersebut akan semakin baik. Contoh: seorang pemain sepak bola, seseorang akan semakin sempurna jika dia mengadakan latihan yang berulang-ulang. Pengulangan dengan frekuensi yang banyak, semakin akurat pada saat ia menendang bola.
            Pada saat melaksanakan pendidikan, guru harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1.      Isi/materi harus sesuai dan menunjang tercapainya tujuan. Hanya isi/materi yang sesuai dan menunjang tujuan yang perlu diberikan.
2.      Urgensi materi, yakni materi itu penting untuk diketahui oleh peserta didik. Di samping itu sifat isi/materi tersebut merupakan landasan untuk mempelajari bahan berikutnya.
3.      Nilai praktis atau kegunaannya diartikan sebagai makna, (isi/materi itu) bagi kehidupan sehari-hari.
4.      Materi tersebut merupakan materi wajib, sesuai dengan tuntutan kurikulum.
5.      Materi yang sudah diperoleh sumbernya, perlu diupayakan untuk diberikan kepada peserta didik. (Sutan Zani Arbi, 1993: 28).
2.2.4    STRATEGI/METODE PEMBELAJARAN
            Metode adalah cara yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Metode pendidikan adalah cara-cara yang dipakai oleh orang atau sekelompok orang untuk membimbing anak/peserta didik sesuai dengan perkembangannya kearah tujuan yang hendak dicapai. Metode pendidikan tersebut selalu terkait dengan proses pendidikan, yaitu bagaimana cara melaksanakan kegiatan pendidikan agar tercapai tujuan pendidikan.
            Untuk memilih metode yang tepat dalam proses pendidikan perlu diperhatikan hal-hal berikut ini:
a.             Tujuan yang hendak dicapai
b.            Kemampuan pendidik
c.             Kebutuhan peserta didik
d.            Isi atau materi pendidikan
            Tujuan pendidikan yang hendak dicapai antara negara yang satu dengan yang lain bisa berbeda. Hal ini dikarenakan tujuan pendidikan suatu negara mempunyai ke-khas-an sendiri-sendiri. Tujuan tersebut tidak bisa lepas dan tujuan negara hendak dicapai. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 4 disebutkan tujuan Pendidikan Nasional “...berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Metode pendidikan yang dipakai tentunya tidak akan menyimpang dari tujuan tersebut di atas. Jika kita cermati lebih lanjut, maka yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional tersebut adalah metode pemberian contoh, nasehat, dorongan, bimbingan dan juga memakai metode yang digunakan dalam bentuk pendidikan yang demokratis.
            Metode pendidikan harus pula disesuaikan dengan kemampuan guru/pendidik. Guru yang tidak menguasai praktek lapangan, misal menyepak bola (FPOK), memasang batu bata (FPTK-Jurusan Bangunan), menari (Seni Tari FBS), maka sebaiknya guru/pendidik tersebut tidak menggunakan metode pemberian contoh. Metode pemberian contoh akan dilaksanakan guru/pendidik, jika guru tersebut menguasai bidang praktek lapangan.
            Kebutuhan peserta didik merupakan faktor yang pertama harus diperhatikan, karena peserta didiklah yang paling berkepentingan dalam proses pendidikan. Guru/pendidik haruslah memperhatikan bakat, minat, sikap dan kemampuan peserta didik. Bagi peserta didik yang kemampuannya di bawah rata-rata tentunya guru harus lebih banyak membimbing dan memberi contoh pekerjaan-pekerjaan yang dikerjakan. Kebutuhan peserta didik tidak akan lepas dan perkembangan peserta didik itu sendiri.
            Isi atau materi pendidikan ikut pula menentukan metode pendidikan yang akan digunakan. Isi atau materi pendidikan yang meliputi nilai-nilai, keterampilan dan pengetahuan, humaniora dan kewarganegaraan mempunyai kecenderungan metode pendidikan yang berbeda. Nilai-nilai lebih banyak pada metode pemberian contoh dan nasehat. Pada bidang keterampilan dan pengetahuan disamping pemberian contoh, juga diskusi, pemecahan masalah, tanya jawab dan sebagainya. Humaniora dan kewarganegaraaan yang condong pada kawasan afektif lebih banyak pada pemberian contoh dan problem solving, disamping metode lain yang relevan.

2.2.5    SARANA DAN PRASARANA
            Sarana dan prasarana pendidikan memiliki peran yang sama-sama penting seperti posisi pendidik. Sarana prasarana dijadikan sebagai media dalam pembelajaran. Berhasil tidaknya proses pembelajaran juga sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dan kelengkapan sarana dan prasarana. Fungsi sarana dan prasarana:
1.      Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar.
2.      Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak dan sehingga dapat menimbulkan motivasi belajar, interaksi langsung antara siswa dan lingkungannya, dan kemungkinan siswa untuk belajar sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan dan minatnya.
3.      Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka, serta memungkinkan terjadi interaksi langsung dengan guru, masyarakat dan lingkungan, misalnya melalui karyawisata, kunjungan-kunjungan ke museum atau kebun binatang.
            Sarana prasarana umum yaitu:
1.      Ruang kelas beserta perlengkapannya (perabotannya)
2.      Ruang praktikum (laboratorium) beserta perangkatnya
3.      Ruang perpustakaan beserta perangkatnya
4.      Ruang serbaguna beserta perlengkapannya
5.      Ruang BP/BK beserta perlengkapannya
6.      Ruang Kepala Sekolah, guru dan Tata Usaha beserta perabotannya
7.      Toilet
8.      Ruang ibadah beserta perlengkapannya
9.      Ruang kantin
Sarana khusus yaitu:
1.      Alat Asesment
2.      Orientasi Mobilitas
3.      Alat Bantu visual
4.      Alat bantu auditif
5.      Alat latihan fisik

Klasifikasi sarana prasarana khusus
            Dalam klasifikasi media pembelajaran menurut Leshin, polock & Reigeluth dalam arsyad mengacu pada kebutuhan anak secara spesifik, dibagi menjadi dalam 2 garis besar yakni media pembelajaran bagi anak buta total dan media pembelajaran bagi anak low vision.
-             Media pembelajaran bagi anak buta total
Anak buta total tidak dapat memanfaatkan semua jenis media pembelajaran yang ada di sekolah pada umumnya. Dengan mempertimbangkan keterbatasan dan potensi yang dimiliki anak buta total, maka media pembelajaran mereka dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.      Media berbasis manusia termasuk didalamnya guru, instruktur, kelompok.
2.      Media berbasis cetak: buku-buku Braille, bagan timbul, grafik timbul, denah, peta timbul, miniatur dan benda tiruan.
3.      Media berbasis audio: rekaman suara dengan kaset, rekaman dengan CD/ piringan radio, tape.
4.      Media berbasis komputer: talking komputer, printer Braille, display Braille, perpustakaan Braille on-line.
5.      Media berbasis benda asli dan lingkungan benda-benda di sekitar, lingkungan sosial dan lingkungan alam.

-             Media pembelajaran bagi anak low vision
Pada anak low vision masih mungkin memanfaatkan sebagian besar media pembelajaran dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan sisa penglihatannya.
1.      Media berbasis manusia: guru, instruktur, tutor, main peran, dan kegiatan kelompok.
2.      Media berbasis cetak: buku penuntun, buku latihan, alat bantu kerja dan lembaran lepas.
3.      Media berbasis visual: buku, alat bantu kerja, bagan, grafik, peta gambar, close circuit television (CCTV) transparasi, slide dan benda tiruan (miniatur).
4.      Media berbasis audio-visual: video, film, program slide-tape, televisi.
5.      Media berbasis computer :JAWS (Job for accass with Spech) adalah program screen-reader atau pembaca layar.

2.2.6    SISTEM EVALUASI
            Istilah sistem menunjuk pada himpunan komponen (unsur, bagian) yang satu sama lain saling berkaitan secara fungsional menjadi suatu kesatuan yang bulat dan utuh untuk mencapai suatu tujuan (Amirin, 1984). Secara fungsional, dimaksudkan unsur-unsur tersebut saling berkait sesuai denganfungsinya masing-masing.
            Sistem evaluasi berkaitan dengan kurikulum. Bentuk evaluasi yaitu formatif maupun sumatif. Kedua jenis evaluasi ini dimaksudkan untuk mengetahui keberhasilan guru dalam mengajar dilihat dari prestasi atau hasil yang telah dikuasai siswa, yang pada akhirnya diarahkan untuk mengkaji seberapa jauh kurikulum telah dilaksanakan.
            Evaluasi formatif adalah evaluasi atau penilikan yang dilakukan oleh guru setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari oleh siswa. Evaluasi formatif terutama dimaksudkan untuk memberikan umpan balik kepada guru mengenai keberhasilan program mengajarnya. Dalam hal ini keberhasilan siswa merupakan petunjuk utama keberhasilan program mengajar yang diselenggarakan oleh guru pemegang bidang studi yang bersangkutan, dan jenis evaluasi ini dikenal sebagai ulangan harian.
            Evaluasi sumatif atau dikenal dengan tes sumatif adalah tes yang diselenggarakan oleh guru setelah satu jangka waktu tertentu (semester). Tes sumatif ini dalam pelaksanaannya sering disebut dengan ulangan umum yang biasanya diselenggarakan secara serentak untuk seluruh sekolah. Butir-butir soal untuk tes sumatif, jumlah dan kualitasnya harus lebih dibandingkan dengan butir-butir dalam tes formatif. Perlu diperhatikan bahwa tes sumatif bukan hanya sekedar gabungan dan soal-soal tes formatif atau memilih beberapa butir soal formatif. Beberapa butir soal harus mengukur kemampuan siswa dalam kaitannya dengan pengertian-pengertian yang terkandung dalam beberapa pokok bahasan yang terpisah.

2.4           LAPORAN HASIL OBSERVASI DI SDSLB A YAKETUNIS
            SLB A Yaketunis adalah sekolah yang dikelola oleh yayasan yang berbasis Islam. Yayasan Yaketunis terdiri dari sekolah SD SLB A dan MTs Yaketunis sebagai sekolah lanjutan bagi siswa SD SLB A yang melanjutkan ke tingkat lanjutan.
Yang penyusun observasi adalah SD SLB A Yaketunis. Penyusun memperoleh data yaitu sebagai berikut:
            Peserta didik di SD SLB A Yaketunis berjumlah 21 orang dengan rincian:
            Kelas   1 A      : 3 siswa
                        1 B      : 1 siswa (kelas lanjutan dari 1A sebelum naik ke kelas 2)
                        2 A        : 1 siswa
                        2 B      : 2 siswa (kelas lanjutan dari 2A)
                        2 G      : 1 siswa
                        3G       : 1 siswa (Tunanetra, mental dan wicara)
                        4          : 2 siswa
                        5A       : 3 siswa
                        5B       : 4 siswa
                        6A       : 2 siswa
                        6G       : 1 siswa
            Pendidik di SDSLB A Yaketunis berjumlah 19 guru tetap dan 2 guru tidak tetap (GTT) dengan rincian sebagai berikut:
1.      Guru Kelas                        : 7 orang
2.      Orientasi dan Mobilitas     : 2 orang (bersama Kepala Sekolah)
3.      Penjaskes                           : 1 orang
4.      SBK (Seni Budaya)          : 1 orang
5.      Massase                             : 1 orang (merangkap jadi guru keterampilan)
6.      Keterampilan                     : 2 orang (1 orang guru komputer)
Kualifikasi pendidik pada SDSLB A Yaketunis yaitu:
1.      SGPLB berjumlah 5 orang
2.      S1 (mayoritas)
3.      S2 2 orang (1 guru Agama Islam dan 1 masih menempuh pendidikan)
4.      GTT (Pendidikan non PLB namun tengah mengikuti sertifikasi PLB)
5.      5 guru Tunanetra
Isi/materi yang diajarkan di SDSLB A Yaketunis yaitu sebagai berikut:
1.      Pelajaran pengetahuan Umum
2.      Pendidikan agama Islam (program unggulan)
3.      Keterampilan
            Strategi/metode yang diterapkan pada SDSLB A Yaketunis yaitu:
1.      Sistem kelas yang diterapkan adalah sistem campuran antara the blind dan low vision.
2.      Sistem kelas kelompok yaitu disesuaikan dengan tingkat IQ dan ketunagandaan.
3.      Layanan yang diberikan sesuai dengan perkembangan usianya dan berdasarkan hasil assesmen.
Sarana prasarana yang ada di SDSLB A Yaketunis yaitu:
1.      Aula
2.      Ruang kelas
3.      Perpustakaan
4.      Laboratorium komputer
5.      Mushola
6.      Unit kesehatan sekolah (UKS)
7.      Alat peraga untuk IPA, IPS, dan keterampilan
8.      Asrama siswa
9.      Ruang makan
10.  Riglet dan stylus
11.  Lantai yang di desain khusus untuk mempermudah orientasi dan mobilitas
12.  Kamar mandi
Sistem evaluasi yang diterapkan yaitu:
Prinsipnya sama seperti pada sekolah umum yaitu:
1.      Tes formatif (dilakukan oleh guru setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari oleh siswa).
2.      Tes sumatif (diselenggarakan oleh guru setelah jangka waktu tertentu (semester).

PEMBAHASAN DARI HASIL OBSERVASI DI SDSLB A YAKETUNIS
            Penyelenggarakan pendidikan di SDSLB A Yaketunis antara jumlah peserta didik dengan tenaga pendidik yang ada cukup memenuhi. Dalam arti jumlah pendidik jumlahnya lebih banyak dari siswanya. Sehingga setiap siswa bisa terlayani dengan baik sesuai dengan kebutuhannya. Penyusun menilai apabila jumlah pendidik lebih banyak dari jumlah siswanya tentu ini berdampak positif dalam hal keberhasilan proses pemberian pendidikan. Hal ini berarti sesuai dengan prinsip individual, satu siswa di ampu oleh satu guru, meskipun pada SDSLB A Yaketunis menerapkan sistem klasikal.
            Mengenai kualifikasi pendidik di SDSLB A Yaketunis mayoritas pendidikan terakhir S1 PLB, S2, dan SGPLB yang tengah menyelesaikan pendidikan S1. Kualifikasi pendidik di SLB ini cukup berkualitas. Pendidik di SLB A Yaketunis memiliki kompetensi yang baik di bidang pendidikan tunanetra. Ada 5 guru yang tunanetra dan satu dari mereka ada yang pernah menjadi guru teladan tingkat nasional. Ini merupakan suatu kebanggaan secara personal disamping juga sekolah. Prestasi guru dalam mengantarkan siswa-siswinya di berbagai kompetensi kejuaraan dibuktikan dengan banyaknya tropi kejuaraan yang diraih oleh siswa-siswi yang rata-rata menyabet juara 1 dan 2.
            Materi pendidikan yang dikembangkan di SDSLB A Yaketunis yaitu pendidikan nilai yang bernuansa Islami selain pelajaran dan pengetahuan umum seperti di sekolah-sekolah normal. Sekolah menanamkan pendidikan nilai melalui pengajian, baca Al-Qur’an Braille, dan kegiatan pembelajaran sehari-hari.
            Keberhasilan pendidikan tentu berkaitan dengan strategi yang diterapkan. Dalam hal pemberian pembelajaran, siswa di kelompokkan dan pendidikan mengacu terhadap hasil dari assesmen. Ini akan mempermudah dalam hal memberikan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhannya.
            Untuk sarana prasarana di SDSLB A Yaketunis sudah baik namun masih ada beberapa sarana yang beluma ada yaitu:
1.      Sarana olahraga adaptif
2.      Replika benda-benda untuk alat peraga khusus mata pelajaran IPA
3.      Lapangan olahraga beserta peralatannya
4.      Ruang praktikum
            Kendala yang dihadapi dalam pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan di SDSLB A Yaketunis yaitu tidak ada upaya yang signifikan yang dilakukan oleh lembaga tersebut. Keinginan untuk memenuhi sarana dan prasarana tersebut tentu saja ada, dalam kenyataannya, lembaga tersebut hanya menantikan bantuan dari pihak-pihak terkait.
            Demikian pembahasan mengenai hasil observasi di SDSLB A Yaketunis.
           



BAB 3
PENUTUP

1.1              KESIMPULAN
            Layanan anak berkebutuhan khusus dengan kategori A mempunyai beberapa standar pelayanan minimal yang harus dipenuhi oleh tiap-tiap satuan pendidikan yang melaksanakan pelayana di bidang ini.
            Proses pembelajaran yang mendukung dan memperhatikan proses perkembangan karakteristik peserta didik tunanetra harus disesuaikan dengan hal  tersebut di atas. Beberapa kesimpulan yang didapat dari laporan hasil observasi pelayanan anak berkebutuhan khusus di SDSLB A Yaketunis, antara lain:
-          Komponen pendidikan di SDSLB A Yaketunis yaitu meliputi peserta didik, pendidik dengan kualifikasi yang cukup baik, isi/materi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan siswanya, strategi pendidikan yaitu mengacu pada hasil assesmen, sarana dan prasarana pendidikan yang sudah memadai, dan sistem evaluasi yang kesemuanya saling berkaitan dan mendukung demi ketercapaian hasil pembelajaran yang berhasil.
-          Sarana dan prasarana di SDSLB A Yaketunis sudah memadai untuk beberapa sarana prasarana dan tengah dilengkapi.
-          Pelayanan tambahan bagi tunarungu perlu dioptimalkan agar ABK dengan gangguan penglihatan mampu secara optimal beradaptasi dan berkomunikasi di tengah kompleksitas masyarakat yang majemuk.
1.2              SARAN
            Setelah menyimpulkan hasil observasi mengenai pelayanan anak berkebutuhan khusus di SDSLB A Yaketunis, beberapa saran yang penyusun ajukan untuk proses pembelajaran yang optimal pada tiap-tiap satuan pendidikan khususnya pengelola pendidikan khusus terutama di bidang kategori A (tunanetra) antara lain:
1.      Guna proses pembelajaran yang optimal penggunaan sarana dan prasarana yang ada harus digunakan seoptimal mungkin
2.      Melengkapi sarana dan prasarana untuk menunjang proses pembelajaran di SLB khususnya tiap-tiap satuan pendidikan sebaiknya menganalisa kebutuhan dan sarana prasarana yang harus disesuaikan dan disediakan bila belum ada
3.      Proses pembelajaran akan berjalan bila tiap-tiap elemen pada masing-masing satuan pendidikan dapat berjalan dan bekerjasama secara berkesinambungan sehingga kerjasama yang baik harus selalu dipertahankan dan ditingkatkan.




DAFTAR PUSTAKA

Dwi Siswoyo, dkk. (2008). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Hartati Sukirman, dkk. (2008). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Yogyakarta: Jurusan Administrasi Pendidikan.
Widjajantin, Anastasia dan imanuel hitipeuw. (1996). Orthopedagogik Tunanetra I. Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Guru, Direktorat jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar