HASIL IDENTIFIKASI DAN RENCANA PROGRAM PENGAJARAN
INDIVIDUAL (RPPI)
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Orientasi dan Mobilitas Semester V
Dosen pengampu:
Sari Rudiyati, M. Pd
Disusun oleh:
NAMA : ERIC
SUWARDANI
NIM
: 08103244029
PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Identifikasi adalah kegiatan menentukan atau menetapkan
identitas (ciri-ciri atau keadaan khusus) seseorang atau benda. (Depdikbud,
1990: 319). Jadi identifikasi anak tunanetra berarti menemukan atau menetapkan
ciri-ciri atau keadaan khusus dari seseorang anak, apakah yang bersangkutan
mempunyai gangguan penglihatan dan atau menyandang tunanetra atau tidak.
Kegiatan identifikasi merupakan kegiatan awal dan
merupakan kegiatan awal dan merupakan salah satu tujuan dari asesmen; dengan
telah dilakukan identifikasi tersebut maka asesmen sudah mulai dilaksanakan,
asesmen selanjutnya akan lebih dipermudah karena sudah ada data identitas
seseorang yang akan diasesmen lebih lanjut.
Dalam kegiatan identifikasi ini diambil contoh kasus
siswa di SLB A YAAT Klaten. Identifikasi ini mencakup identitas anak, riwayat
kehamilan, riwayat kelahiran, riwayat penyakit anak, riwayat perkembangan
penglihatan anak, serta hasil pemeriksaan anak.
Anak dengan kebutuhan khusus perlu dikenali dan
diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan
pelayanan pendidikan yang bersifat khusus. Dengan dilaksanakan kegiatan
identifikasi, diperoleh data sebagai dasar dalam penyusunan Program Pendidikan
Individual sehingga anak memperoleh apa yang menjadi kebutuhannya.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 PENGERTIAN ANAK TUNANETRA
Kata tunanetra itu sendiri tidak
asing bagi kebanyakan orang, tetapi masih banyak yang belum memahaminya.
Pengertian anak tuanetra itu sendiri banyak ragamnya, sebab dapat ditinjau dari
segi harfiah, kiasan, metafisika, medis, fungsional ataupun dari segi
pendidikan. Dipandang dari segi bahasa, kata tunanetra terdiri dari kata tuna
dan netra. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1990: 971) tuna
mempunyai arti rusak, luka, kurang, tidak memiliki, sedangkan netra (Depdikbud,
1990: 613) artinya mata. Tunanetra artinya rusak matanya atau tidak memiliki
mata yang berarti buta atau kurang dalam penglihatannya. Menurut White
Confrence pengertian tunanetra adalah sebagai berikut:
1.
Seseorang dikatakan
buta baik total maupun sebagian (low vision) dari kedua matanya sehingga tidak
memungkinkan lagi baginya untuk membaca sekalipun dibantu dengan kacamata.
2.
Seseorang
dikatakan buta untuk pendidikan bila
mempunyai ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada bagian mata yang
terbaik setelah mendapat perbaikan yang diperlukan atau mempunyai ketajaman
penglihatan lebih dari 20/200 tetapi mempunyai keterbatasan dalam lantang
pandangnya sehingga luas daerah penglihatannya membentuk sudut tidak lebih dari
20 derajat.
Menurut pendidikan kebutaan (blindness) difokuskan pada
kemampuan siswa dalam menggunakan penglihatan sebagai suatu saluran belajar.
Anak yang tidak dapat menggunakan penglihatannya dan bergantung pada indera
lain seperti pendengaran, perabaan, inilah yang disebut buta secara pendidikan
(Hardman, et.al. 1990: 313).
II.2 IDENTIFIKASI
Identifikasi
adalah kegiatan menentukan atau menetapkan identitas (ciri-ciri atau keadaan
khusus) seseorang atau benda. (Depdikbud, 1990: 319). Jadi identifikasi anak
tunanetra berarti menemukan atau menetapkan ciri-ciri atau keadaan khusus dari
seseorang anak, apakah yang bersangkutan mempunyai gangguan penglihatan dan
atau menyandang tunanetra atau tidak.
Secara
umum tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi apakah seorang anak
mengalami kelainan penyimpangan dalam perkembangannya dibandingkan anak-anak
lain seusianya, yang hasilnya akan dijadikan dasar untuk penyusunan program
pembelajaran sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya.
Identifikasi
dilakukan dengan keperluan yaitu:
1.
Penjaringan
(Screening)
Pada
tahap ini identifikasi berfungsi menandai anak-anak mana yang menunjukkan gejala-gejala
tertentu, kemudian menyimpulkan anak-anak mana yang mengalami
kelainan/penyimpangan tertentu, sehingga tergolong anak dengan kebutuhan khusus.
2.
Pengalihtanganan
(Referral)
Berdasarkan
gejala-gejala yang ditemukan pada tahap penjaringan, selanjutnya anak-anak
dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, ada anak yang tidak perlu
dirujuk ke ahli lain (tenaga profesional) dan dapat langsung ditangani sendiri
oleh guru dalam bentuk layanan pembelajaran yang sesuai. Kedua, ada anak yang
perlu dirujuk ke ahli lain terlebih dulu (referal) seperti psikolog, dokter,
orthopedagog (ahli PLB), dan/atau therapis, baru kemudian ditangani oleh guru. Proses perujukan anak
oleh guru ke tenaga professional lain untuk membantu mengatasi masalah anak
yang bersangkutan disebut proses pengalihtanganan (referral). Jika tenaga
professional tersebut tidak tersedia dapat dimintakan bantuan ke tenaga lain
yang ada seperti Guru Pembimbing Khusus (Guru PLB) atau Konselor.
3.
Klasifikasi
Pada tahap
klasifikasi, kegiatan identifikasi bertujuan untuk menentukan apakah anak yang
telah dirujuk ke tenaga professional benar-benar memerlukan penanganan lebih
lanjut atau langsung dapat diberi pelayanan pendidikan khusus. Apabila berdasar
pemeriksaan tenaga professional ditemukan masalah yang perlu penanganan lebih
lanjut (misalnya pengobatan, therapy, latihan-latihan khusus, dan sebagainya)
maka guru tinggal mengkomunikasikan kepada orang tua siswa yang bersangkutan.
Jadi guru tidak mengobati dan/atau memberi therapy, melainkan sekedar
meneruskan kepada orang tua tentang kondisi anak yang bersangkutan. Guru hanya
akan membantu siswa dalam hal pemberian pelayanan pendidikan sesuai dengan kondisi anak. Apabila
tidak ditemukan tanda-tanda yang cukup kuat bahwa anak yang bersangkutan
memerlukan penanganan lebih lanjut, maka anak dapat dikembalikan ke kelas
semula untuk mendapatkan pelayanan pendidikan khusus. Kegiatan klasifikasi
ini memilah-milah mana anak dengan kebutuhan khusus yang memerlukan penanganan
lebih lanjut dan mana yang langsung dapat mengikuti pelayanan pendidikan khusus
di kelas reguler.
4.
Perencanaan
Pembelajaran
Pada
tahap ini, kegiatan identifikasi bertujuan untuk keperluan penyusunan program
pembelajaran yang diindividualisasikan (PPI). Dasarnya adalah hasil dari klasifikasi.
Setiap jenis dan gradasi (tingkat kelainan) anak dengan kebutuhan khusus memerlukan program
pembelajaran yang berbeda satu sama lain.
5.
Pemantauan Kemajuan
Belajar
Kemajuan belajar perlu dipantau untuk
mengetahui apakah program pembelajaran khusus yang diberikan berhasil atau
tidak. Apabila
dalam kurun waktu tertentu anak tidak mengalami kemajuan yang signifikan
(berarti), maka perlu ditinjau lagi beberapa aspek yang berkaitan. Misalnya
apakah diagnosis yang kita buat tepat atau tidak, Program Pembelajaran
Individual (PPI) yang kita susun sesuai atau tidak, bimbingan belajar khusus yang kita
berikan sesuai atau tidak, dan seterusnya.
Sebaliknya, apabila dengan program khusus yang diberikan, anak mengalami kemajuan yang cukup signifikan maka program tersebut perlu diteruskan sambil memperbaiki/menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada. Dengan lima tujuan khusus di atas, identifikasi perlu dilakukan secara terus menerus oleh guru, dan jika perlu dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama tenaga professional terkait.
Sebaliknya, apabila dengan program khusus yang diberikan, anak mengalami kemajuan yang cukup signifikan maka program tersebut perlu diteruskan sambil memperbaiki/menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada. Dengan lima tujuan khusus di atas, identifikasi perlu dilakukan secara terus menerus oleh guru, dan jika perlu dapat meminta bantuan dan/atau bekerja sama tenaga professional terkait.
PELAKSANAAN IDENTIFIKASI
1.
Sasaran
Identifikasi
Secara
umum sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan
khusus adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar. Sedangkan
secara khusus (operasional), sasaran identifikasi anak dengan kebutuhan khusus
adalah:
a.
Anak yang sudah
bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
b.
Anak yang akan masuk ke
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
c.
Anak yang belum/tidak
bersekolah karena orangtuanya merasa anaknya tergolong anak kebutuhan khusus
sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara itu, semula SD
terdekat belum/tidak mau menerimanya;
d.
Anak yang drop-out
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena factor akademik.
2.
Petugas
Identifikasi
Untuk
mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong anak dengan kebutuhan khusus atau
bukan, dapat dilakukan oleh:
a.
Guru kelas;
b.
Orang tua anak;
dan/atau
c.
Tenaga professional
terkait.
Ada beberapa langkah dalam rangka pelaksanaan identifikasi anak
berkebutuhan khusus. Untuk identifikasi anak usia sekolah yang eblum bersekolah
atau drop out sekolah, maka sekolah yang
bersangkutan perlu melakukan pendataan ke masyarakat sekitar kerjasama dengan Kepala Desa/Lurah, RT,
RW setempat. Jika pendataan tersebut ditemukan anak berkelainan, maka proses
berikutnya dapat dilakukan pembicaraan
dengan orangtua, komite sekolah maupun
perangkat desa setempat untuk mendapatkan tindak lanjutnya.
Untuk
anak-aak yang sudah masuk dan menjadi siswa pada sekolah tertentu, identifikasi
dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:
1.
Menghimpun data
anak tentang anak
2.
Menganalisis data
dan mengklasifikasi anak
3.
Mengadakan
pertemuan konsultasi dengan kepala sekolah
4.
Menyelenggarakan
pertemuan kasus (case conference)
5.
Menyusun laporan
pertemuan kasus
ALAT IDENTIFIKASI
Secara
sederhana ada beberapa aspek informasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam
pelaksanaan identifikasi. Alat identifikasi
dalam rangka menemukenali anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus yaitu:
1.
Informasi riwayat
perkembangan anak
Informasi
riwayat perkembangan anak adalah informasi mengenai keadaan anak sejak di dalam
kandungan hingga tahun-tahun terakhir sebelum masuk SD/MI. Informasi ini penting
sebab dengan mengetahui latar
belakang perkembangan anak, mungkin kita dapat menemukan sumber penyebab
problema belajar.
Informasi
mengenai perkembangan anak sangat penting bagi guru untuk mempertimbangkan
kebijakan program pembelajaran yang akan diberikan kepada anak. Informasi
perkembangan anak biasanya mencakup identitas anak, riwayat masa kehamilan dan
kelahiran, perkembangan masa balita, perkembangan fisik, perkembangan sosial,
dan perkembangan pendidikan.
Riwayat
masa kehamilan dan kelahiran meliputi perkembangan masa kehamilan, penyakit
yang diderita ibu, usia di dalam kandungan, proses kelahiran, tempat kelahiran,
penolong persalinan, gangguan pada saat proses kelahiran, berat badan bayi,
panjang badan bayi, dan tanda-tanda kelainan pada bayi.
Perkembangan
masa balita sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai lama menyusu ibunya,
usia akhir minum susu kaleng, kegiatan imunisasi, penimbangan, kualitas dan
kuantitas makanan pada masa balita, kesulitan makan yang dialami, dan
sebagainya.
Perkembangan
fisik diperlukan terutama data mengenai kapan anak mulai dapat merangkak,
berdiri, berjalan, naik sepeda roda tiga, naik sepeda roda dua, berbicara dengan kalimat lengkap,
kesulitan gerakan yang dialami, status gizi balita, dan riwayat kesehatan.
Perkembangan
sosial terutama berkaitan dengan hubungan
dengan saudara, hubungan dengan teman, hubungan dengan orang
tua dan guru, hobi anak, dan minat khusus. Perkembangan pendidikan meliputi
informasi mengenai kapan masuk TK, berapa lama pendidikan di TK, kapan masuk
SD, apa kesulitan selama di TK, apa kesulitan selama di SD, apakah pernah
tinggal kelas, pelayanan khusus yang pernah diberikan, prestasi belajar tiap caturwulan atau
semester, mata pelajaran yang dirasa paling sulit, dan mata pelajaran yang
paling disenangi.
2.
Data orang tua/wali
siswa
Selain
data mengenai anak, tidak kalah pentingnya adalah informasi mengenai keadaan
orang tua/wali siswa yang bersangkutan. Dalam beberapa penelitian diketahui
bahwa lingkungan keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
keberhasilan belajar anak.
Lingkungan keluarga dapat meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua,
status sosial ekonomi, sikap dan penerimaan orang tua terhadap anak, serta pola
asuh yang diterapkan keluarga terhadap anak.
Data
orang tua/wali siswa sekurang-kurangnya mencakup informasi mengenai identitas
orang tua/wali, hubungan orang
tua-anak, data sosial ekonomi orang tua, serta tanggungan dan tanggapan orang
tua/ keluarga terhadap anak. Identitas orang tua harus lengkap, tidak hanya
identitas ayah melainkan juga identitas ibu, misalnya umur, agama, status,
pendidikan, pekerjaan pokok, pekerjaan sampingan, dan tempat tinggal.
Hubungan orang tua-anak
menggambarkan sejauh mana intensitas komunikasi antara orang tua dan anak. Misalnya apakah
kedua orang tua satu rumah atau tidak, demikian juga dengan anak. Apakah diasuh
salah satu orang tua, pembantu, atau keluarga lain. Semua kondisi tersebut
mempunyai pengaruh terhadap anak.
Mengenai
data keadaan sosial ekonomi diperlukan agar sekolah dapat memperhitungkan kemampuan orang tua dalam
pendidikan anaknya. Data sosial ekonomi dapat mencakup informasi mengenai
jabatan formal maupun non formal ayah dan ibu, serta besarnya penghasilan
rata-rata per bulan.
Sedangkan
mengenai tanggapan orang tua yang perlu diungkapkan antara lain persepsi orang tua
terhadap anak, kesulitan yang dirasakan orang tua terhadap anak yang
bersangkutan, harapan orang tua dan bantuan yang diharapkan orang tua untuk
anak yang bersangkutan.
3.
Informasi mengenai
profil kelainan anak
Informasi
mengenai gangguan/kelainan anak sangat penting, sebab dari beberapa penelitian
terbukti bahwa anak-anak yang prestasi belajarnya rendah cenderung memiliki
gangguan/kelainan penyerta. Survei terhadap 696 siswa SD dari empat provinsi di
Indonesia yang rata-rata nilai rapornya kurang dari 6,0 (enam, nol), ditemukan
bahwa 71,8% mengalami disgrafia, 66,8% disleksia, 62,2% diskalkulia, juga 33%
mengalami gangguan emosi dan perilaku, 31% gangguan komunikasi, 7,9% cacat /
kelainan anggota tubuh, 6,6% gangguan gizi dan kesehatan, 6% gangguan
penglihatan, dan 2% gangguan pendengaran (Balitbang, 1996).
Tanda-tanda
kelainan atau gangguan khusus pada siswa (jika ada) perlu diketahui guru.
Kadang-kadang adanya kelainan khusus pada diri anak, secara langsung atau tidak
langsung, dapat menjadi salah satu faktor timbulnya problema belajar. Tentu saja hal ini
sangat bergantung pada berat ringannya kelainan yang dialami serta sikap
penerimaan anak terhadap kondisi tersebut.
TINDAK LANJUT KEGIATAN IDENTIFIKASI
Sebagai
tindak lanjut dari kegiatan identifikasi anak berkelainan untuk dapat
memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai, maka dilakukan tindak lanjut
sebagai berikut:
1.
Perencanaan
pembelajaran dan pengorganisasian siswa
Pada
tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a.
Menetapkan
bidang-bidang atau aspek problema
belajar yang akan ditangani: Apakah seluruh mata
pelajaran, sebagian mata pelajaran, atau hanya bagian tertentu dari suatu mata
pelajaran.
b.
Menetapkan pendekatan
pembelajaran yang akan dipilih termasuk rencana pengorganisasian siswa, apakah
bentuknya berupa pelajaran remedial, penambahan latihan-latihan di dalam kelas
atau luar kelas, pendekatan kooperatif, atau kompetitif, dan lain- lain.
c.
Menyusun program
pembelajaran individual.
2.
Pelaksanaan
pembelajaran
Pada
tahap ini guru melaksanakan program pembelajaran serta pengorganisasian siswa
berkelainan dalam kelas reguler sesuai
dengan rancangan yang telah disusun dan
ditetapkan pada tahap sebelumnya. Sudah tentu pelaksanaan pembelajaran harus
senantiasa disesuaikan dengan perkembangan
dan kemampuan anak, tidak dapat
dipaksakan sesuai dengan target
yang akan dicapai oleh guru. Program tersebut bersifat fleksibel.
3.
Pemantauan kemajuan
belajar dan evaluasi
Untuk
mengetahui keberhasilan guru dalam membantu mengatasi kesulitan belajar anak, perlu dilakukan
pemantauan secara terus menerus terhadap kemajuan dan/atau bahkan kemunduran belajar anak. Jika anak
mengalami kemajuan dalam pendekatan
yang dipilih guru perlu terus dimantapkan, tetapi jika tidak terdapat kemajuan,
perlu diadakan peninjauan kembali, baik mengenai isi dan pendekatan program, maupun motivasi
anak yang bersangkutan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Dengan demikian diharapkan
pada akhirnya semua problema anak,
secara bertahap dapat diperbaiki sehingga anak terhindar dari kemungkinan tidak
naik kelas atau anak putus
sekolah.
II.3 HASIL
IDENTIFIKASI
I. Identitas Anak
Nama lengkap :
Skolastika Nadya Valelentine
Tempat, tanggal lahir : Klaten, 14 Februari 2003
Umur : 7 tahun
Agama : Islam
Anak Ke : 4 dari 4 saudara
Jenis kelamin : perempuan
Alamat rumah : Sekaleka Rt 03 Rw 05, klaten
Sekolah :
SLB YAAT A Klaten
Kelas : persiapan (TK)
Tipe gangguan : low vision
Jarak baca : 15 cm
II. Riwayat
Kehamilan
1.
Kondisi kehamilan
Ibu :tidak ada gangguan,
rutin melakukan pemeriksaan kehamilan
2.
Nutrisi saat
kehamilan : asupan gizi tercukupi
3.
Sakit yang diderita :
influenza dan panas
4.
Kecelakaan saat
hamil : tidak mengalami kecelakaan
III. Riwayat kelahiran
1.
Usia kehamilan : 8 bulan (premature)
2.
Berat saat lahir : 17,5 ons
3.
Panjang : 46 cm
4.
Proses kelahiran :
normal
5.
Dibantu oleh : dokter
6.
Tempat kelahiran :
rumah sakit
7.
Peralatan bantuan :
didalam inkubator 2 bulan
IV. Riwayat Penyakit Anak
1.
Anak menderita
lemah jantung.
2.
Selama masa balita
anak sakit demam, flu yang biasa diderita anak-anak.
V. Riwayat Perkembangan Penglihatan Anak
Usia 3 bulan anak tidak merespon ketika diajak bermain
dengan mainan yang digerakkan.
VI. Silsilah Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga
yang mengalami kelainan penglihatan
VII. Hasil pemeriksaan dengan media snellen
chart
1.
Menggunakan mata
anak tanpa bantuan
a.
Mata kanan : 2/30
b.
Mata kiri : 3/60
c.
Kedua mata : 4/60
2.
Menggunakan pin
hole
a.
Mata kanan : 6/20
b.
Mata kiri : 6/20
VIII. Kelainan
yang dialami anak
1.
Jenis : Low vision sedang
2.
Kondisi mata :
Bola mata bersih seperti mata normal
Bola mata sering bergerak
3.
Dugaan :Anak mengalami kelainan refraksi,
juling dan diperkirakan kelainan retinopati
PEMBAHASAN
STUDI KASUS
Penyebab ketunanetraan secara garis besar terbagi dalam
tiga periode yaitu, pranatal, natal dan postnatal. Sementara penyebab yang
lebih mendetail karena terkena infeksi, virus, penyakit, kecelakaan, kekurangan
vitamin A, keturunan dan kelainan struktur penglihatan. Penyebab pranatal lebih
sering karena infeksi, virus, penyakit dan yang berkenaan dengan asupan gizi
saat kehamilan serta kecelakaan. Penyebab ketunaan natal disebabkan oleh
kecelakaan pada proses kelahiran. Penyebab ketunaan postnatal karena adanya
infeksi langsung pada mata dan kecelakaan langsung pada mata.
Kasus pada Valen menunjukkan bahwa penyebab kelainan
penglihatan yang dialami karena premature. Kelahiran terjadi saat usia
kandungan delapan bulan, kemungkinan yang dialami adalah kelainan struktur pada
retinopati. Bayi yang lahir prematur atau kurang dari 9 bulan beresiko tinggi
mengalami retinopati prematuritas (ROP) atau gangguan pembentukan pembuluh darah
retina pada bayi prematur. Menurut dokter spesialis mata Vera Sumual,
Selasa (24/6) di Jakarta,
retinopati prematuritas (ROP) adalah gangguan
vasoproliferasi retina imatur atau
gangguan saraf mata yang belum matang pada bayi premature kurang dari 9 bulan (http://prematureclinic.wordpress.com/2009/04/18/retinopati-prematuritas-gangguan-mata-pada-bayi-prematur/). Gangguan retinopati pada bayi premature dapat terjadi
karena terjadinya gangguan perkembangan retina. Perkembangan retina terjadi 3
bulan setelah masa pembuahan dan mengalami penyempurnaan saat kelahiran dan
tumbuh kembang anak. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi pada bayi prematur
dapat meningkatkan resiko gangguan pada retina. Insiden retinopati prematuritas
meningkat seiring dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi. RoP juga bisa
jadi karena pengaruh pemberian oksigen konsentrasi tinggi (Sumber: http://www.media-nusantara.com/health/gangguan-retina-mata-pada-bayi.html.).
Faktor lain yang beresiko tinggi terjadinya retinopati prematurity antara lain:
a.
Bayi lahir kurang
dari 32 minggu
b.
Penyakit jantung
c.
Asupan oksigen
terlalu tinggi
d.
Berat badan lahir
rendah, kurang 1500 gram
e.
Penyakit penyerta
f.
Anemia
g.
Transfusi darah
Retinopati prematurity adalah terjadinya gangguan
pembentukan pembuluh darah pada retina yang tidak berkembang. Pada bayi yang
lahir premature pembuluh darah tumbuh secara abnormal yaitu kedalam cairan
jernih yang mengisi bola mata bagian belakang. Pertumbuhan retina secara
abnormal menyebabkan pembuluh darah tidak memiliki jaringan penyokong sehingga
sering terjadi pendarahan di bagian dalam mata dan sangat rapuh. Akibatnya yang
ditimbulkan adalah terbentuknya jaringan parut yang menarik retina dari lapisan
dalamnya ke arah pusat bola mata sehingga retina terlepas. Pengaruh yang
ditimbulkan antara lain bola mata sering bergerak dan tidak memiliki
keseimbangan yang muncul adanya kelainan refraksi yaitu gangguan pembiasan
sinar ke retina.
Kelopak mata Valen normal seperti
orang pada umumnya, bentuk iris dan pupil tidak mengalami kelainan namun
mengalami gangguan gerakan ketika melihat. Secara resmi Valen belum melakukan
tes pemeriksaan ke ahli mata sehingga dugaan sementara penyebab yang dialami
adalah retinopati sesuai gejala yang tampak. Gejala tersebut antara lain
strabismus, nyctamus dan kelainan refraksi setelah melakukan uji pin hole. Bola
mata anak tidak dapat fokus saat melakukan instruksi melihat benda. Penyebab
juling dimungkinkan karena kelainan retinopati sehingga saraf penggerak dan
penyokong bola mata mengalami gangguan. Gejala yang ditunjukkan Valen seperti
kelainan refraksi, bola mata sering bergerak dan juling sesuai dengan gejala
pada anak retinopati prematurity.
Berdasarkan hasil pemeriksaan
terhadap Valen menggunakan Snellen Chart dengan dua metode. Metode pertama
menghasilkan kemampuan mata kanan 2/30, mata kiri 6/30 dan kedua mata 4/60.
Sementara metode kedua menggunakan uji pin hole dengan hasil mata kanan 6/20
dan mata kiri 6/20. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa Valen termasuk dalam
anak gangguan penglihatan tipe low vision hampir normal. Tipe low vision hampir
normal pada tes Snellen hasilnya memiliki rentan 6/9 sampai 6/21 dan masih
dapat dibantu dengan menggunakan kacamata. Jarak baca valen sekitar 15 cm namun
memerlukan usaha keras untuk melihat suatu benda karena bola mata yang sering bergerak
dan juling. Juling adalah kegagalan bola mata untuk terletak lurus karena
adanya gangguan syaraf-syaraf prnggerak bola mata. Nistagmus adalah gerakan
bola mata yang abnormal, sering bergerak dengan cepat.
Gangguan
dan kelainan penglihatan yang terjadi pada valen terjadi karena adanya gangguan
syaraf penggerak bola mata dan retina. Penyebab kelainan tersebut karena
retinopati prematurity yang didapat karena lahir premature, yaitu 8 bulan.
Gejala yang ditunjukkan antara lain berat badan ketika lahir 17,5 ons dengan
panjang 46 cm. Selain itu Valen termasuk BBLR (berat badan lahir rendah) dan
mengalami lemah jantung maka selama 2 bulan lebih berada dalam inkubator.
Penyinaran lampu dan asupan oksigen secara berlebihan dalam kurun waktu yang
lama menyebabkan keterparahan retinopati prematurity yang dialami. Setelah usia
7 tahun gejala yang tampak pada kelopak mata, pupil, iris namun nampak pada
pergerakan bola mata yaitu juling dan nistaggmus. Hasil pemeriksaan menggunakan
Snellen Chart dan Pin Hole menunjukkan bahwa Valen termasuk low Vision hampir
normal tetapi mengalami kelainan refraksi.
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan pada Bab II, dapat disimpulkan yaitu sebagai berikut:
1.
Identifikasi adalah
kegiatan menentukan atau menetapkan identitas (ciri-ciri atau keadaan khusus)
seseorang atau benda.
2.
Kegiatan
identifikasi merupakan kegiatan awal dan merupakan kegiatan awal dan merupakan
salah satu tujuan dari asesmen.
3.
Pada kasus Valen
termasuk low Vision hampir normal tetapi mengalami kelainan refraksi.
III.2 SARAN
1.
Identifikasi adalah
kegiatan menentukan keadaan khusus seseorang dan hasilnya merupakan langkah
awal proses asesmen sehingga kegiatan identifikasi perlu dilaksanakan dengan
cermat untuk kegiatan penanganan selanjutnya.
2.
Perlu adanya
kerjasama dari berbagai pihak untuk menindaklanjuti hasil dari kegiatan
identifikasi oleh tenaga profesional, seperti dokter, psikolog, neurolog,
orthopedagog, therapis, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Rudiyati, Sari. (2002). Pendidikan Anak Tunanetra (Buku Pegangan Kuliah). Fakultas Ilmu
Pendidikan. UNY.
Widjajantin, Anastasia dan imanuel hitipeuw. (1996). Orthopedagogik
Tunanetra I. Jakarta: Proyek Pendidikan Tenaga Guru, Direktorat jenderal
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
RENCANA PROGRAM PENGAJARAN INDIVIDUAL (RPPI)
1.
Menilai Kebutuhan
Anak
Anak tersebut masih
duduk di kelas persiapan (TK) sehingga sangat penting untuk diberikan program
pengajaran yang berorientasi pada kegiatan sehari-hari supaya mandiri.
2.
Tujuan Jangka
Panjang
Tujuan dari program
ini yaitu supaya anak mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
Selain itu untuk meningkatkan kemampuan orientasi dan mobilitas anak.
3.
Tujuan Jangka
Pendek
Adapun tujuan
jangka pendek dari program ini yaitu anak mampu melakukan kegiatan gosok gigi
dengan baik.
4.
Menentukan Kriteria
dan Prosedur Evaluasi
Kriteria dari
program ini yaitu kegiatan fokus ke pengembangan kemampuan anak dalam kegiatan
sehari-hari seperti kegiatan bina diri. Prosedur penilaian yaitu penilaian
dilakukan saat anak praktek.
5.
Merancang Metode
dan Prosedur Pembelajaran
Metode yang
digunakan yaitu menggunakan metode simulasi dan praktek langsung. Adapun
prosedur pembelajarannya yaitu sebagai berikut:
RPPI
“MENGGOSOK GIGI”
1.
Tujuan Umum: siswa
mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri.
2.
Tujuan Khusus:
siswa dapat menyikat gigi dengan baik.
3.
Sasaran Program:
Peningkatan kemampuan Activity Daily Living.
4.
Waktu: 1 X 30
menit.
5.
Media: sikat gigi
dan pasta gigi.
6.
Materi kegiatan:
menggosok gigi dengan sikat dan pasta gigi.
7.
Urutan kegiatan
A.
Pendahuluan
-
Siapkan alat (sikat
gigi dan pasta gigi)
B.
Inti
a.
Cara memasang pasta
gigi pada sikat gigi
1.
Tangan kiri
memegang kepala sikat gigi.
2.
Telunjuk ibu jari
tangan kiri berada di luar/menjepit bulu-bulu sikat yang sedang dipegang.
3.
Ujung tube gigi
diletakkan pada ujung sikat gigi.
4.
Pasta gigi ditekan
sambil ditarik kebelakang seperlunya.
b.
Cara gosok gigi
1.
Ambil gayung dan
gelas
2.
Masukkan gayung
atau gelas pada air dalam bak mandi atau isi air dengan air matang.
3.
Pegang gayung atau
gelas dengan menggunakan tangan kiri.
4.
Pegang sikat gigi
dengan tangan kanan.
5.
Kumurlah dengan air
yang ada dalam gayung atau gelas.
6.
Masukkan sikat gigi
dalam mulut.
7.
Gerrakkan sikat
gigi turun naik, atas bawah, sikatlah semua gigi dengan cara demikian.
8.
Kumurlah dengan
sisa air yang ada dalam gayung atau gelas.
9.
Bersiihkan sikat
gigi dengan air.
Persyaratan yang
harus dipenuhi oleh anak yaitu:
a.
Telah dapat membuka
menutup pasta gigi.
b.
Telah mengetahui
cara menuang air dalam gelas.
c.
Telah mengetahui
cara membersihkan sikat.
d.
Telah mengenal
keadaan kamar mandi.
C.
Evaluasi
Anak praktek langsung menggosok gigi.
D.
Penutup
Di dalam penutup kegiatan ada kriteria keberhasilan yaitu
apakah anak mampu melakukan kegiatan gosok gigi secara mandiri atau belum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar