NAMA : ERIC SUWARDANI
NIM :
08103244029
PRODI : PLB B
MK : PEND. ANAK BERBAKAT
KESULITAN
SISWA AKSELERASI
Penyelenggaraan program
akselerasi merupakan salah satu implementasi dari Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang SPN Pasal 4 ayat 4 yaitu “Bahwa warga negara yang memiliki
keserdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendiidkan khusus”. Program
akselerasi adalah program pelayanan pendiidkan peserta diidk yang memiliki
potensi cerdas istimewa dan/atau berbakat istimewa. Dalam program akselerasi,
penyeselesaian pendidikan dapat ditempuh dengan jangka waktu yang lebih singkat
dibandingkan dengan di program biasa (reguler). Artinya peserta diidk kelompok
ini dapat menyelesaikan pendidikan di SD/MI dalam jangka waktu 5 tahun dan di
SMP/MTs atau SMA/MA dalam waktu 2 tahun.
Pembelajaran
akselerasi memberikan keuntungan bagi anak berbakat intelektual, namun juga
beberapa kelemahan yang perlu diantisipasi dan dipikirkan dengan baik sebelum
program ini dilaksanakan. Pembelajaran akselerasi seharusnya didasarkan
paradigma bahwa siswa harus berkembang secara alami dan tidak cukup hanya aspek
kognitifnya saja tetapi juga aspek emosional dan aspek sosial. Dengan demikian
perlu adanya pengkajian yang lebih mendalam mengenai pembelajaran akselerasi
agar dapat berjalan dengan baik dan terjadi keseimbangan kemajuan dalam diri
siswa baik itu aspek perkembangan kognitif, emosional, dan sosial.
Seiring
dengan perjalanan waktu program akselerasi telah membuktikan bahwa akselerasi
bukanlah sekedar program coba-coba atau trial dan error. Dunia pendiidkan harus
mengakui bahwa akselerasi mampu melahirkan lulusan-lulusan yang kompetensi yang
sejajar atau bahkan lebih dari lulusan yang ada selama ini. Bahkan kalau bisa, program ini harus mampu menjadi sebuah proyek percontohan
bagi jenis-jenis layanan pendidikan bagi siswa yang memiliki kebutuhan khusus
di Indonesia. Dengan keberanekaragaman kebutuhan khusus peserta didik, sekolah
harus terus dipacu untuk mampu meningkatkan layanan kepada mereka yang unik dan
memiliki karakter khas sebagai pengakuan kepada peserta didik secara utuh. Kepada bangsa,
mungkin program ini harus mampu menunjukkan sebuah karya nyata bagi bangsa
dengan menghasilkan karya nyata yang bermanfaat bagi masyarakat atau memberikan
catatan prestasi tinggi di dunia internasional sehingga mampu mengangkat nama
bangsa dikancah pendidikan internasional. Terlepas dari semua itu,
berbagai tentangan dan kontra dari para pakar pendidikan dan masyarakat lainnya
tidaklah lantas membuat akselerasi semakin berkurang peminatnya. Bahkan
dibeberapa sekolah justru mampu mengangkat nama sekolah karena dinilai memiliki
kapasitas untuk melaksanakan pendidikan untuk anak cerdas istimewa.
BEBERAPA KEKELIRUAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM
AKSELERASI DAN DAMPAKNYA
Karena anggapan atau pandangan yang salah dari pihak sekolah terhadap
program ini, telah membuat kesalahan dalam pelaksanaannya. Harus kita akui
masih ada sekolah yang menganggap program ini sebagai prestige aa sekedar
mengangkap gengsi sekolah atau kepala sekolahnya saja. Tidak mustahil anggapan
ini benar adanya mengingat masih ada beberapa kekeliruan dalam pelaksanaannya.
Beberapa kekeliruan tersebut diantaranya :
Bahkan dalam kasus dimana jumlah siswanya relatif sedikit, misalnya 3 atau
5 orang, mungkin anak-anak ini akan lebih baik kalau dilayani bersamaan dengan
kelas reguler dengan diberikan materi, tugas dan tantangan lebih ketimbang
siswa lainnya sehingga tetap mampu mengikuti program belajar selama 2 tahun.
Hal ini karena apabila dipaksakan, secara proses kegiatan memisahkan siswa yang
5 orang atau kurang ke dalam satu kelas tidaklah efektif dan efisien.
Yang lebih parah lagi adalah, tidak mustahil ada sekolah yang kemudian
melakukan berbagai hal untuk ”menggenapkan” jumlah sampai jumlah
maksimal sekitar 20 orang bahkan lebih. Lantas ”kekeliruan” apa yang
mungkin dilakukan sekolah dalam mencapai tujuannya tersebut?
Pertama,
dengan menurunkan standar minimal bagi siswa untuk mengikuti program ini.
Misalnya standar minimal IQ yang seharusnya minimal 130 skala Cettel diturunkan
menjadi 120-125 dengan maksud untuk menambah jumlah siswa yang dapat mengikuti
program akselerasi. Selain IQ, perlakuan yang sama juga
dilakukan terhadap indikator lainnya seperti Task Commitment dan Creativity
Quotient. Atau merekayasa indikator lainnya, seperti hasil test akademis
yang minimal 8 menjadi cukup hanya dengan angka 7 atau dengan tidak menjadikan track
record (misalnya indeks raport) siswa selama di SD sebagai bahan
pertimbangan.
Kekeliruan
ini melahirkan anggapan bahwa program akselerasi sebagai program asal coba dan
asal jadi yang membebani siswa dengan beban akademis yang tinggi dan tugas yang
banyak. Padahal apabila proses penjaringan dan penyaringan berjalan sesuai
aturan dan prosedur, maka siswa yang mengikuti program ini akan mampu mengikuti
program ini dengan sangat-sangat baik.
Kedua,
menawarkan pilihan kepada siswa atau orang tua untuk mengikuti program
akselerasi atau tidak. Padahal program akselerasi bukanlah program pilihan
karena program ini harus memenuhi standar yang telah baku dan bersifat menetap,
yaitu IQ. Dengan menawarkan pilihan, maka dimungkinkan siswa yang tidak
memenuhi standar IQ dapat mengikuti program ini selama memenuhi syarat
“administrasi” kepada sekolah.
Kekeliruan
ini kemudian membuat masyarakat menaruh curiga terhadap program akselerasi
seolah menjadi ajang mengeruk dana dari orang tua yang memiliki kelebihan dana
pendidikan.
Padahal, dengan potensi yang dimiliki oleh siswa program akselerasi maka
guru harus mampu menggali materi lebih luas dan lebih mendalam dengan
memanfaatkan berbagai fasilitas dan sarana belajar yang tersedia, bahkan tidak
mungkin guru melibatkan siswa secara langsung dalam menentukan materi, metode,
sarana dan media pembelajaran.
Kekeliruan ini berdampak pada anggapan bahwa metode,
proses, media, , evaluasi hasil dan pembelajaran di akselerasi sama saja dengan
program reguler dan tidak menjanjikan kelebihan atau keistimewaan lainnya
selain pembelajaran yang dimampatkan menjadi dua tahun.
Dianggap sebagai icon atau simbol prestise maka sekolah memberikan
beberapa keisitimewaan seperti fasilitas atau sarana belajar yang lebih lengkap
di kelas akselerasi. Kesenjangan ini akan menimbulkan kecemburuan dari kelas
lain yang merasa memiliki hak dan kewajiban yang sama namun diperlakukan
berbeda. Alasan sekolah melakukan keistimewaan juga bisa disebabkan karena
alasan dana. Biasanya, disekolah tertentu karena siswa akselerasi dipungut
biaya pendidikan lebih dari reguler maka sekolah menganggap bahwa penambahan
fasilitas untuk kelas akselerasi menjadi sesuatu yang wajar, padahal tanpa
fasilitas dan perlakukan yang berbeda sekalipun secara psikologis dan pergaulan
siswa akselerasi bisa jadi telah merasa berbeda dengan kelas lainnya.
Dampak dari perbedaan perlakuan ini akan semakin memperdalam jurang
perbedaan antar program dan akhirnya bisa menciptakan suasana belajar yang
kurang kondusif bagi siswa.
SOLUSI
Perlu waktu dan kerja keras bagi penyelenggara program akselerasi di
manapun untuk mampu membuktikan bahwa progam akselerasi memberikan kontribusi
positif bagi pendidikan Indonesia, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada.
Berbagai wacana yang berkembang selama ini di berbagai media informasi telah
mampu memberikan pencerahan, khususnya dari pihak yang selama ini kontra
terhadap peyelenggaraan program akselerasi.
Ada beberapa solusi yang kami coba lemparkan untuk menjadi wacana lebih
lanjut dan menjadi bahan diskusi semua pihak. Adapun beberapa solusi tersebut
diantaranya adalah :
1.
Membenahi pandangan
atau paradigma dari sekolah dan masyarakat dalam memandang program akselerasi.
Oleh karena itu maka sekolah penyelenggara akselerasi harus terus membenahi
diri dalam pelaksanaan akselerasi sehingga tidak menimbulkan kesalahanpahaman
dari masyarakat. Sekolah berada pada posisi sebagai ujung tombak pelaksanaan
program ini, sehingga dituntut untuk membenahi diri dalam memandang keberadaan
program akselerasi. Pandangan bahwa akselerasi hanya menjadi icon atau simbol
dari status sekolah semata harus ditanggalkan dan diganti menjadi bentuk
pengabdian dalam melayani siswa secara utuh dan disesuaikan dengan kebutuhan
mereka. Apabila sekolah memandang program ini sebagai bentuk layanan bagi siswa
cerdas istimewa maka sekolah tidak akan main-main atau asal dalam menjalankan
program ini karena manyangkut masa depan siswa dan pemenuhan hal mereka secara
utuh. Setelah melakukan hal tersebut kami mengusulkan supaya sekolah
penyelenggara akselerasi melakukan sosialisasi yang baik dan tepat tentang
hakekat dan landasan penyelenggaraan program akselerasi. Hal ini bisa dilakukan
terbatas yaitu kepada stakeholder pendidikan maupun secara umum melalui
berbagai media yang tersedia. Misalnya kalau kita mencoba membuka internet dan
mencari artikel atau tulisan seputar akselerasi, maka yang kita temukan banyak
sekali yang bernada negatif atau kontra. Ini bukan semata kesalahan masyarakat,
namun juga kekurangan sekolah dan pemerintah dalam mensosialisasikan program
ini secara tepat dan baik. Begitu pun orang yang mengaku sebagai pakar
pendidikan yang biasa bergulat dengan berbagai teori dan wacana tanpa mampu
melihat pelaksanaannya secara lebih detil atau merata. Kekeliruan pelaksanaan
progam di beberapa sekolah kemudian menjadi dalih atau alasan bagi mereka dalam
menyatakan bahwa akselerasi tidak tepat, salah dan ngawur dalam mengakomodasi
anak-anak yang memiliki kecerdasan superior atau cerdas istimewa. Sementara
sekolah yang dinilai berhasil menyelenggarakan program ini cenderung menutup
diri untuk berbagi pengalaman dan strategi pelaksanaan mereka kepada sekolah
lain. Harus kita akui dan pahami bahwa akselerasi memangg bukan satu-satunya
jenis layanan pada anak cerdas istimewa, namun yang harus dimengerti pula oleh
masyarakat bahwa sekolah tidak dapat dengan mudah atau asal-asalan membuat
sebuah inovasi layanan pendidikan karena menyangkut masalah legalitas dan
kesinambungan program bagi siswa-siswa yang mengikuti program tersebut. Dan
sampai saat ini, program yang relatif siap untuk itu adalah akselerasi. Oleh
karena itulah maka kami senantiasa mengusullkan kepada pemerintah untuk juga
memfasilitasi bentuk layanan lainnya. Melakukan proses rekruitmen yang
benar-benar mengikuti aturan dan prosedur baku dan telah ditentukan oleh Dinas
Pendidikan. Masalah yang dihadapi sekolah penyelenggara akselerasi dalam perjalanan
proses pendidikan di kelas salah satu faktor yang sangat menentukannya adalah
pada proses perekrutan. Apabila sekolah mencoba-coba bermain atau tidak serius
dalam masalah perekrutan ini maka akan dapat dipastikan mengalami berbagai
masalah perkembangan siswa didiknya, seperti ada siswa yang tidak kuat
mengikuti proses pembelajaran dalam tingkat kecepatan yang tinggi atau masalah
dalam perkembangan dan kematangan psikologis. Jadi apabila perekrutan
dijalankan secara benar maka tidak akan kita temui siswa yang drop dan masuk ke
kelas reguler karena pada hakekatnya mereka telah memiliki potensi yang baik.
- Solusi untuk kekeliruan kedua, sekolah terus membenahi diri dalam meningkatkan sumber daya tenaga pendidik, minimal dalam pemahaman tentang karakteristik anak cerdas istimewa. Dengan demikian maka guru secara individual bisa melakukan perbaikan metode dan sarana pembelajaran secara mandiri. Pemahaman guru dan orang tua akan pentingnya layanan untuk anak cerdas istimewa ini akan sedikit demi sedikit mendorong perubahan ke arah lebih baik dalam pengelolaan akselerasi.
- Solusi ketiga adalah tidak memperlakukan akselerasi secara berlebihan, kecuali dalam hal metode dan pendalaman materi. Perlakuan berbeda akan semakin membuat siswa akselerasi jauh dari lingkungan sekitarnya. Dan dana yang mungkin ditarik dari orang tua akselerasi bisa dimanfaatkan untuk menambah kualitas guru dengan mengadakan workshop atau seminar tentang anak-anak berbakat atau metode pengajaran yang tepat bagi mereka.
berarti saya korban Program Akselerasi.. :')
BalasHapus