Nama : ERIC SUWARDANI
NIM : 08103244029
Tugas : Pendidikan Inklusi
1. Kasus 1
Di kelas III terdapat 2 anak lamban belajar. Kedua anak
duduk berdua di pojok paling belakang karena badan mereka yang besar dibanding
anak lain. Ketika pembelajaran materi banjir guru menggunakan media 14 cerita
bergambar banjir dan kartu benar salah untuk mengecek pemahaman siswa. Saat
bercerita guru tidak memberikan perhatian untuk siswa lamban belajar dan kedua
siswa tersebut tampak tidak memperhatikan guru menyampaikan cerita. Dari awal
sampai akhir kegiatan pembelajaran guru hanya berdiri di depan kelas sehingga
hanya anak yang duduk di depan yang tampak aktif menanggapi guru.
Analisis kasus:
Terdapat strategi pembelajaran yang kurang tepat yaitu:
-
Penempatan anak
yang kurang menyatu dengan anak lain.
Hal ini tentu malah akan menjauhkan anak dari interaksi di kelas. Menempatkan
anak di pojok paling belakang karena badan besar bukan untuk dijadikan alasan.
Guru bisa menempatkan anak di sisi kanan dan kiri kelas paling depan. Jadi
dengan posisi tersebut, anak tetap terpantau dan anak lain tidak tertutup badan
anak yang besar. Atau dengan mengatur posisi tempat duduk bentuk melingkar atau
later U. Posisi guru berada di posisi yang strategis dengan maksud supaya guru
dalam menerangkan bisa lebih leluasa.
-
Situasi ketika guru
sedang menceritakan tentang banjir. Guru tidak memberikan perhatian untuk siswa
lamban belajar. Ditambah lagi anak tidak ada perhatian ketika guru menjelaskan.
Guru harus mampu menciptakan kondisi fisik dan psikis kelas yang kondusif.
Sangat penting bagi seorang guru memiliki jiwa perhatian lebih kepada anak-anak
yang lamban belajar. Berilah kesempatan siswa lamban belajar untuk berbicara
atau sekedar menyampaikan sebatas yang ia pahami. Berilah perhatian kepada anak
reguler lain untuk ikut memberikan perhatian kepada siswa lamban belajar
tentang materi belajarnya. Tentu ini sangat positif dan akan menciptakan
lingkungan belajar yang kooperatif antara siswa dan guru.
-
Sikap guru yang
monoton. Hanya berdiri di depan kelas ketika menjelaskan sampai di akhir
pertemuan. Ini sangat tidak tepat. Seharusnya guru mampu memanfaatkan space
ruang kelas untuk melakukan interaksi dengan siswa. Siswa pun menjadi merasa
diperhatikan, guru menjadi lebih akrab dengan siswa. Guru bisa menunjuk 2 siswa
yang lamban belajar untuk menyusun gambar tentang banjir di depan kelas. Ini
sebagai wujud peran aktif siswa lamban belajar di kelas.
2. Kasus 2
Di kelas II terdapat 1 siswa dengan hambatan mobilitas
yang menggunakan kursi roda. Siswa tersebut duduk sendiri di pojok paling
belakang. Guru mengajarkan materi puting beliung dengan media gambar. Guru
lebih banyak berdiri di depan kelas sehingga tidak banyak berinteraksi dengan
siswa yang duduk di belakang termasuk ATD. Siswa tersebut juga tidak banyak
berinteraksi dengan siswa lain selain memang posisi tempat duduk yang
menyulitkan siswa tersebut pemalu disepanjang pelajaran. Siswa ATD lebih banyak
diam.
Hal yang menjadi fokus pembahasan yaitu:
-
Penempatan siswa
ATD yang kurang tepat. Seakan siswa dipisahkan dari komunitas belajar hanya
karena menggunakan kursi roda. Guru bisa menyetting ruang kelas dengan space
agak lebar di bagian tengah kelas untuk mobilitasnya. Tempatkan anak di
tengah-tengah antara meja kanan dan kiri siswa reguler. Dengan begitu siswa
bisa berjalan menggunakan kursi roda kedepan kebelakang. Dan yang pasti anak
posisikan yang dekat dengan papan tulis dan guru.
-
Sikap guru yang
monoton. Ini membuat siswa kehilangan perhatian terhadap materi. Ciptakan
interaksi antara guru dan siswa yaitu dengan memanfaat media gambar.
Libatkanlah siswa untuk menyusun gambar misalnya.
-
Guru yang belum
memahami muridnya. Siswa ATD lebih banyak diam. Seharusnya guru harus pandai
mengenali siswanya. Siswa ATD harus dilibatkan dalam pembelajaran. Sebagai
contoh: siswa menjelaskan tentang puting beliung di depan kelas meskipun
mengguanakan kursi roda.
3. Kasus 3
Di kelas V terdapat 1 siswa gangguan penglihatan. Siswa
duduk dipojok paling depan. Guru menyampaikan materi gempa menggunakan media 16
cerita bergambar. Semua anak tampak antusias kecuali siswa tunanetra. Selain
bercerita guru memutarkan CD yang berisi materi gempa seperti sandiwara radio.
Siswa tunanetra tampak antusias tetapi siswa lain tetap kelihatan gelisah dan
ribut sendiri.
Hal yang kurang tepat yaitu:
-
Mengajar siswa
tunanetra harus tahu tentang karakteristik siswa tunanetra. Siswa tunanetra
belajar menggunakan indera nonvisual kecuali untuk yang low vision. Masih
dimungkinkan untuk melihat. Siswa tunanetra tidak cocok belajar menggunakan
media yang sifatnya visual. Ada 2 jenis media. Guru bisa mngkombinasikan kedua
jenis media ke dalam satu waktu pembelajaran. Media gambar untuk siswa reguler
dan CD untuk siswa reguler dan tunanetra. Guru menjelaskan gempa dengan gambar dan
diputar CD untuk penjelasan yang lebih lengkap. Untuk menjalin interaksi,
jalinlah sebuah forum diskusi. Berilah
kesempatan kepada siswa tunanetra untuk berbicara tentang materi gempa.
Dudukkan siswa tunanetra dekat guru agar supaya siswa mudah berinteraksi dan
guru lebih mudah mengawasinya.
4. Kasus 4
Di kelas III terdapat 1 siswa hiperaktif yang tidak dapat
duduk diam di kelas. Guru mengajarkan gunung berapi dengan metode ceramah dan
menuliskan di papan tulis sepanjang guru menyampaikan materi anak berlari di
kelas sehingga anak-anak yang lain juga tidak dapat memusatkan perhatian.
-
Guru tidak tepat
menggunakan metode ceramah apabila di kelas terdapat anak hiperaktif. Guru
harus mampu membuat siswa hiperaktif untuk duduk tenang. Tempatkan siswa di
dekat guru supaya guru bisa mengawasinya dengan jarak dekat.
-
Guru bisa
melibatkan siswa hiperaktif untuk menulis di papan tulis. Mungkin ini bisa
membuat siswa hiperaktif tenang dan tidak berlari-lari di dalam kelas.
5. Kasus 5
Di kelas II terdapat 1 siswa tunarungu duduk di pojok
paling belakang. Guru mengajarkan materi gempa dengan media 16 cerita
bergambar. Ketika bercerita mulut guru tertutup oleh gambar dan tidak ada
perhatian yang diberikan untuk anak ketika menggunakan kartu benar salah untuk
mengecek pemahaman anak. Pertanyaan hanya ditujukan untuk kelas besar.
Hal yang kurang tepat yaitu:
-
Siswa tunarungu
belajar dengan indera nonaudio. Penggunaan media gambar sudah tepat namun
pelaksanaannya yang belum pas. Siswa dalam memahami penjelasan dengan melihat
gerak mulut yang berbicara. Sebaiknya guru dalam menjelaskan, posisi mulut
jangan ada yang menutupi sehingga siswa tunarungu bisa melihat dengan jelas dan
mengerti apa yang disampaikan. Tentunya dengan dibantu bahasa isyarat.
-
Pengajuan
pertanyaan kurang tepat. Kemampuan pemahaman setiap siswa itu berbeda apalagi
yang tunarungu. Maka guru mengajukan pertanyaan kalau bisa sifatnya individual.
Berilah waktu untuk siswa tunarungu untuk menjelaskan tentang pemahamannya
kepada teman-teman di depan kelas. Perlu ada pendampingan GPK untuk bahasa isyaratnya.
Siswa yang lain bisa dibentuk kelompok kecil.
6. Kasus 6
Di kelas III terdapat anak autis sangat senang melihat
serangga. Anak dapat berkomunikasi dengan bahasa sederhana. Dia duduk sendiri
di pojok paling belakang. Ketika pembelajaran materi tanah longsor, guru
menjelaskan dengan menuliskan hal penting di papan tulis. Anak lain mencatat
apa yang ditulis guru di depan. Sementara anak autis asyik memainkan kincir
air.
Hal yang kurang tepat:
-
Penempatan siswa
sebaiknya di samping kelas. Sehingga guru lebih mudah berinteraksi dan
mengawasi anak autis. Biarkan anak sibuk dengan keasyikannya. Karena anak mampu
berbahasa sederhana ajaklah berkomunikasi tentang apa yang menjadi
kesenangannya. Menurut saya anak autis sulit
untuk disamakan dalam belajar. Misalnya anak lain belajar tentang tanah
longsor, anak autis sulit untuk mengikutinya. Cara belajar anak autis yaitu
sesuai mood. Jadi, guru harus memperhatikan hal menarik apa bagi anak itulah
yang menjadi topik belajarnya. Kuncinya jangan memaksa anak untuk belajar apa
yang tidak disenanginya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar